Jumat, 19 Desember 2014

Ideologi di Dunia


LIBERALISME

A.    Konsep  Liberalisme
Liberalisme berasal dari kata liberal yang bermakna bebas dari batasan, bebas berpikir, leluasa dan sebagainya. Liberalisme dapat diartikan pula sebagai paham kebebasan, yaitu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, sebagai titik tolak dan sekaligus tolok ukur dalam interaksi sosial. Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya suatu kebebasan individu dalam segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi maupun agama. Menurut paham ini titik pusat dalam kehidupan ini adalah individu. Karena ada individu, maka masyarakat dapat tersusun, karena ada individu pula maka negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara harus melindungi kebebasan dan kemerdekaan individu. Tiap-tiap individu harus memiliki  kebebasan dan kemerdekaan dalam bidang politik, ekonomi maupun agama (Leo Agung, 2002 : 11).
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar liberalisme:
1.    Percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta (Trust in God as a Creator) . Semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Tuhan hak-hak tertentu yang tidak dapat dipisahkan dari padanya.
2.    Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. 
3.    Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan, dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu ( Treat the Others Reason Equally).
4.    Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat (Government by the Consent of The People or The Governed).
5.    Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hak asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
6.    Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu (The Emphasis of Individual).
7.    Negara hanyalah alat (The State is Instrument).  Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.
8.    Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).  Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.

B. Sejarah perkembangan Liberalisme
Embrio perjuangan kaum liberalism yang menentang setiap tindakan yang dianggap menekan kebebasan individu sebenarnya telah ada di Inggris. Kebebasan individu akhirnya dijamin dengan dikeluarkannya Magna Charta tahun 1215. Isi piagam ini antara lain bawa seseorang (kecuali budak) tidak boleh ditangkap, dipenjara, disiksa, diasingkan, dan disita hak miliknya tanpa cukup alas an menurut hukum.
Dua peristiwa penting yang menjadi dasar lahirnya paham liberalism ialah :
a.      Declaration of Independence. Ke – 13 koloni Inggris di Amerika Utara berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan Inggris dan menghasilkan “Declaration of Independence” yang menyatakan “bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa Tuhan telah menganugerahi beberapa hak yang tidak dapat dipisahkan daripadanya, diantaranya hak hidup, kebebasan – kemerdekaan, dan hak untuk mencapai kebahagiaan’’ (life, liberty, and pursuit of happiness)
b.      Buku Wealth of Nations karya Adam Smith yang isisnya mengenai gagasan – gagasan pokok yang menjadi dasar bagi kaum liberal di bidang ekonomi yang lazim ddirumuskan dengan “laisser faire laisser passer” (produksi bebas , perdagangan bebas)
Pertumbuhan dan perkembangan perjuangan kaum liberal semakin nyata dengan munculnya golongan borjuis di Perancis pada abad ke – 18 yang menyuarakan liberalisme sebagai aksi protes terhadap kepincangan yang ada di Perancis selama itu. Golongan Borjuis berhasil mendekati rakyat untuk menentang kekuasaan raja yang absolute guna mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan dalam bidang politik, ekonomi dan agama. Gerakan ini diilhami oleh buah karya ahli pikir seperti Montesquieu dan J.J. Rousseeau. Gerakan Liberalisme ini akhirnya meningkat menjadi gerakan politik dengan meletusnya revolusi Prancis tahun 1789. Satu naskah penting dalam bidang politik yang dihasilkan di waktu revolusi Prancis adalah lazim disebut “La Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (pernyataan hak – hak asasi manusia dan warga Negara ) dikumandangkan pada 27 Agustus 1791. Isinya antara lain sebagai berikut :
1)      Persamaan dalam lapangan politik dan sosial bagi semua warga Negara
2)      Penghormatan akan hak milik
3)      Kedaulatan bangsa dan Negara
4)      Kemungkinan  bagi semua warga Negara untuk memegang jabatan – jabatan umum
5)      Penghormatan akan pendirian, kepercayaan dan agama
6)      Kemerdekaan berbicara dan pers.
Selanjutnya lewat kekuasaan Napoleon Bonaparte, paham liberalisme ini disebarluaskan ke seluruh Eropa dan kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan semboyan “liberte, egalite, dan fraternite” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Jadi revolusi Prancis sebenarnya revolusi golongan borjuis yang menuntut adanya kebebasan dan kemerdekaan dan mereka itu kemudian disebut golongan liberal. 
            Praktek liberalisme dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari bidang politik, ekonomi, dan agama.
1.      Dalam bidang Politik
Terbentuknya suatu Negara merupakan kehendak dari individu-individu. Oleh karena itu, yang berhak mengatur dan menetukan adalah individu-individu tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan negara yang tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Hal inilah yang kemudian melahirkan Negara demokrasi. Agar supaya kebebasan dan kemerdekaan individu tetap dihormati dan dijamin, maka harus disusun, dibentuk Undang-Undang Hukum parlemen dan sebagainya. Demokrasi yang dikehendaki oleh golongan liberal adalah yang kemudian dikenal dengan nama Demokrasi Liberal seperti yang dianut oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
2.      Dalam Bidang ekonomi
Liberalisme dalam bidang ekonomi menghendaki adanya sistem ekonomi yang bebas. Setiap individu, setiap orang harus memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk berusaha, memilih pekerjaan yang disukai, mengumpulkan harta dan sebagainya. Pemerintah tidak boleh mencampuri dalam kehidupan ekonomi, karena masalah itu adalah masalah individu. Semboyan kaum liberal yang terkenal di bidang ekonomi ialah “laisserfaire, laisser passer I” emonde va de lui-meme (produksi bebas, perdagangan bebas dunia akan berjalan sendiri). Hal ini diilhami oleh buku Wealth of Nations karya Adam Smith
3.      Dalam Bidang agama
Liberalisme menganggap masalah agama adalah masalah individu, maka tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih agama yang disukainya. Pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam masalah agama. Liberalisme di bidang agama menghendaki adanya kebebasan untuk memilih agama yang disukainya dan bebas beribadah menurut agama yang dianutnya (Leo Agung : 2002 : 13-14).
Adapun keuntungan (pro) dari sistem ekonomi liberal, yaitu sebagai berikut.
1.        Menumbuhkan inisiatif dan kreasi masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah/komando dari pemerintah.
2.        Setiap individu bebas memiliki sumber-sumber daya produksi yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
3.        Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
4.        Menghasilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antarmasyarakat.
C. Liberalisme di Indonesia
Liberalisme masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Masa antara tahun-tahun 1870 dan 1900 di Indonesia pada umumnya disebut zaman Liberalisme. Pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah colonial di Indonesia kepada usaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Meluasnya pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia zaman liberal tidak saja terbatas pada penanaman tanaman perdagangan di perkebunan besar tetapi juga meliputi import barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda.
Penghapusan tanam paksa menyebabkan munculnya sistem ekonomi liberal, dimana Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal mereka. Pada masa Liberalisme, komersialisme terhadap  bangsa Indonesia tampak dengan:
1)      Indonesia dijadikan tempat untuk mencari bahan mentah untuk kepentingan Industri orang-orang Eropa
2)      Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal bagi para pengusaha swasta asing. Dengan cara menyewa tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan-perkebuan  besar.
3)      Indonesia juga dijadikan sebagai tempat untuk memasarkan hasil-hasil Industri Eropa.
Pada masa Liberalisme ini pula merupakan awal munculnya industrialisasi di Indonesia. Munculnya Industrialisasi ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870, yang memberikan peluang bagi pengusaha asing (pengusaha dari Inggris, Belgia, Perancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang) untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia tetapi tidak boleh menjualnya. Mereka mulai datang ke Indonesia untuk menanamkan modal dan untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Tanah penduduk Indonesia yang awalnya merupakan milik pribadi tersebut harus disewa untuk jangka waktu tertentu (25 tahun untuk tanah pertanian, 75 tahun untuk tanah ladang) oleh para pemilik modal swasta asing. Penduduk hanya mendapatkan uang sebagai uang sewa tanah tersebut. Tanah yang disewa  kemudian dijadikan `perkebunan-perkebunan besar yang dilengkapi dengan pabrik-pabrik untuk mengolah hasil perkebunan tersebut. Perkebunan-perkebunan tersebut diantaranya Perkebunan Kopi, Teh, Gula, Kina dan Tembakau.
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Menurut Swanto, dkk. (1997) pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah :
1). Tanam paksa dihapus.
2). Modal swasta asing mulai ditanamkan di Indonesia.
3). Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang.
4). Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor.
5). Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana.
6). Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting

D.    Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Zaman Liberalisme
Perkebunan-perkebunan gula, kopi, tembakau dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya mengalami perkembangan yang paling pesat antar tahun 1870 dan 1885. Selama masa ini para pengusaha-perkebunan-perkebuann memperoleh keuntungan-keuntungan yang besar sekali dari penjualan tanaman dagang ini di pasaran dunia. Untuk sebagian besar perkembangna pesat ini disebabkan oleh pembukaan terusan Suez dalam tahun 1869 yang sangat mengurangi jarak antra Negara penghasil tanaman dagang dan pasaran-pasaran dunia yang terpenting di dunia.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman dagang mulai berjalan agak seret yang disebabkan oleh jatuhnya harga-harga koli dan gula di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau di pasaran dunia juga jatuh dengan pesat sehingga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan-perkebunan. Jatuhnya harga.
Kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi penanam modal asing dijamin oleh pemerintah colonial, seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Hal itu dapat dilihat dari isi Undang-Undang agrarian tahun 1870, suatu peraturan yang umumnya dianggap sebagai dimulainya politik colonial liberal di hindia Belanda. Peraturan tersebut pada pokoknya berisi dua hal, yaitu pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang asing boleh menyewa tanah untuk perkebunan. Tidak mengherankan bahwa sesudah tahun 1870 modal asing semakin meningkat mengalir ke Jawa secara intensif.
Pada tahun 1882 pajak kepala diadakan dengan maksud untuk menggantikan wajib kerja. Jumlah per kepala dipungut dari semua warga desa yang kena wajib kerja. Pada tahun ini juga dihapuskan pancen diensten, yang terdiri atas 15 jenis, kecuali kerja wajib untuk perbaikan jalan, dam, tanggul dan saluran air. Dalam politik liberal penetrasi usaha kapitalis berpenetrasi sampai ke individu. Konversi tanah yang dikuasai perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan perkebunan berarti tanah masuk obyek komersialisasi. Perkembangan selanjutnya sebagian ditentukan oleh factor-faktor modernisasi lain, seperti komunikasi, birokrasi, adukasi dan industrialisasi pertanian.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak langsung melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang.






KAPITALISME

Kapitalisme berasal dari capital yang berarti modal, yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti tanah, uang dan sebagainya. Kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi yg modalnya bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan di pasar bebas. Adapun pengertian menurut G.G. Wells, “Kapitalisme adalah suatu yang tidak dapat didefinisikan, tapi pada umumnya kita menyebut sebagai sistem kapitalis, sesuatu yang kompleks kebiasaan tradisional, energi perolehan yang tak terkendalikan dan kesempatan jahat serta pemborosan hidup”.
Secara umum, teori kapitalis bercirikan individu yang menjadi pemilik bagi apa yang dihasilkannya, orang lain tidak punya hak. Ia berhak untuk memonopoli semua alat produk yang dapat dicapainya dengan usahanya sendiri, berhak untuk tidak mengeluarkannya, kecuali dengan jalan yang memberi keuntungan padanya. Teori tersebut bertitik tolak pada egoisme, yang hanya cinta pada diri sendiri. Suatu hal yang pasti terjadi dalam sistem kapitalis adalah lahirnya kecenderungan yang keras dikalangan masyarakat untuk mengumpulkan kekayaan dan tidak mengeluarkannya kecuali pada jalan yang mendatangkan keuntungan besar bagi dirinya.
Masyarakat kapitalis praktis menjadi dua kelas yakni kelas hartawan dan miskin. Kelas hartawan menguasai sumber-sumber kekayaan dan bertindak sekehendak hatinya, serta tidak mempergunakannya kecuali untuk kepentingan pribadinya. Sehingga kepentingan masyarakat dikorbankan demi untuk menambah kekayaan. Maka orang-orang miskin tidak lagi punya kesempatan untuk memperoleh sumber-sumber kekayaan kecuali hanya untuk memperoleh kebutuhannya, demi kelanjutan hidup.
Adapun bentuk-bentuk kapitalisme yaitu:
a)    Kapitalisme perdagangan, muncul pada abad ke-16 setelah dihapusnya sistem feodal. Dalam sistem ini seorang pengusaha mengangkat hasil produksinya dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kebutuhan pasar. Dengan demikiankapitalisme perdagangan  berfungsi sebagai perantara antara produsen dan konsumsi.
b)   Kapitalisme industry, lahir karena ditopang oleh kemajuan industri dengan penemuan mesin uap oleh James Watt tahun 1765 dan mesin tenun tahun 1733. Semua itu telah membangkitkan revolusi industri di Inggris dan Eropa menjelang abad ke-19. Kapitalisme industri ini tegak di atas dasar pemisahan antara modal dan buruh yakni antara manusia dan mesin.
c)    Sistem Kartel, yakni kesepakatan perusahaan-perusahaan besar dalam membagi pasaran internasional. Sistem ini memberi kesempatan untuk memonopoli pasar dan pemerasan seluas-luasnya. Aliran ini tersebar di Jerman dan Jepang.
d)   Sistem Trust, sebuah sistem yang membentuk satu perusahaan dari berbagai perusahaan yang bersaing agar perusahaan tersebut lebih mampu berproduksi dan lebih kuat untuk mengontrol dan menguasai pasar.
Dudly Dillard, secara kronologis membagi sejarah muncul dan perkembangan kapitalisme, terutama kapitalisme industrial, menjadi tiga fase perkembangan, yakni kapitalisme fase awal ( 1500-1750), kapitalisme fase klasik ( 1750-1914) dan kapitalisme fase lanjut (1914-1945).
Pertama, kapitalisme awal atau kapitalisme merkantilismes (1500-1750), yaitu kapitalisme yang bertumpu pada industri sandang di Inggris. Kapitalisme pada masa ini masih sangat sederhana, yaitu ditandai dengan praktek pemintalan benang yang masih mengunakan masinal (mechine) sederhana. Sementara kebutuhan produksi disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pada abad XVI industri sandang dibeberapa pedesaan di Inggris mengalami perkembangan produksi yang sangat pesat. Pemasukan keuangan negara yang pada awalnya hanya berasal dari pajak rakyat mulai bertambah dengan pendayagunaan surplus sosial (semacam tabungan sosial dari beberapa pabrik sandang).
Kedua, adalah kapitalisme fase klasik (1750-1914). Fase ini ditandai dengan bergesernya sistem pembangunan kapitalisme dari sistem perdagangan (merkantilisme) ke sistem industri, tepatnya ketika terjadi revolusi industri di Inggris yang kemudian menjadikan masa ini sebagai masa transisi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri. Perubahan sistem ini dilatarbelakangi oleh perkembangan baru dalam keilmuan manajemen-organisasi dan penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi. Dalam bidang pemikiran, pada saat yang sama muncul seorang ekonom Inggris, Adam Smith dengan karyanya Inquiry into the nature and causes of the wealth nations (1776). Dalam buku tersebut, Adam Smith menawarkan satu sistem ekonomi yang akan membawa kesejahteraan masyarakat Eropa saat itu yakni sistem ekonomi liberal. Doktrin utama dari sistem ini adalah menyerahkan semua keputusan-keputusan ekonomi kepada pasar dengan membongkar atau bahkan menghilangkan peran negara sedikitpun. Begitulah kapitalisme liberal terus berjalan sampai mengalami berbagai pertentangan internal (anomali) antar negara kapitalis itu sendiri yang kemudian mengakibatkan meletusnya perang dunia I pada tahun 1914-1918 antara kekuatan negara kapitalis baru (Jerman, Jepang dan Perancis) dengan negara bos kapitalis Inggris. Akibat dari Perang Dunia I tersebut adalah perubahan besar mengenai pembagian koloni-koloni tanah jajahan yang menguntungkan negara yang menang perang.
Ketiga, fase kapitalisme lanjut (1914-1945). Fase ini ditandai dengan peristiwa bergesernya dominasi modal dari belahan dunia Eropa ke negara adidaya baru Amerika Serikat yang dilatarbelakangi oleh hancurnya sistem ekonomi Eropa akibat perang yang berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya krisis besar-besaran dihampir negara kapitalis Eropa, terutama Inggris yang pada awalnya sebagai negara kapitalis Eropa terkaya. Selain itu ada tiga momentum besar di dunia internasional saat itu, yakni terjadinya perang dunia pertama, munculnya perlawanan dari dunia terjajah (Asia-Afrika) terhadap praktik imperialisme kolonialisme yang telah berjalan cukup lama, dan suksesnya revolusi Bolsevik 1917 di Rusia yang menghancurkan sistem feodalisme kaesar Tsar saat itu. Dari ketiga momentum inilah beberapa negara kapitalis Eropa dan Amerika mengalami great depression atau depresi ekonomi dunia besar-besaran.
Dari kejadian itulah dunia mengalami resesi ekonomi. Dari peristiwa diatas, negara-negara kapitalis saat itu mulai merubah kebijakan ekonominya dari sistem liberalis yang tidak memberikan ruang jaminan sosial sedikitpun kepada masyarakat pada sistem ekonomi negara kesejahteraan (walfare state). Wacana dan praktek sistem walfare state hanya berjalan sampai pada dekade 1970-an akhir awal 1980-an ketika kapitalisme internasional mengalami resesi ekonomi dunia kedua kalinya. Munculnya aliran Kapitalisme Neo-Liberal atau kanan baru (1979-sekarang) merupakan tawaran solusi dari sistem walfare state. Adalah Friedrich Van Hayek, seorang profesor di Universitas Chicago sejak 1940-an, yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Milton Friedman. Menawarkan solusi kembali pada sistem ekonomi neo-klasik. Dari sinilah embrio dari neo liberalism. Wacana neo-liberal dalam sistem ekonomi kapitalisme pada masa ini menyebar dengan cepat yang kemudian lebih dikenal dengan istilah kanan baru.
Di Eropa aliran di atas, diimplementasikan untuk pertama kalinya oleh PM. Margaret Thatcher tahun 1979. Kebijakan pertama yang diambil setelah menduduki posisi PM Inggris adalah penghapusan kewajiban negara untuk memikul tanggung jawab terhadap rakyatnya yang berupa subsidi negara terhadap rakyat dan memangkas secara radikal subsidi-subsidi sosial. Sebagai gantinya pemerintah lebih mementingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program privatisasi swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap penyiaran, telekomunikasi, transportasi, dan menghentikan seluruh serikat buruh.
Di Amerika, pada saat yang sama kaum republiken memenangkan pemilunya yang kemudian menaikkan Ronald Reagen sebagai Presiden AS menggantikan Jimmy Carter. pada saat inilah pengadopsian neo-liberalisme di Amerika sebagai sistem ekonomi mulai diterapkan. Rezim ini sangat meyakini teori trickle down effect yang mengklaim bahwa si kaya mendapatkan insentif seperti membayar pajak murah/rendah, maka mereka akan lebih giat dalam berwirawasta dan pada gilirannya mereka akan banyak menciptakan pertumbuhan peluang dan lowongan kerja. Sederhanya, jika industri diserahkan ke swasta maka akan lebih efisien dan menekan pengeluaran pemerintah untuk pembayaran tunjangan sosial.
Dari awal masa perkembangannya, kapitalisme memiliki identifikasi yang khas:
1.    Sistem ekonomi kapitalisme mentasbihkan kebebasan individu untuk melihat alat-alat produksi dan modal, bukan oleh negara atau yang disebut dengan hak individu (individual ownership).
2.    Ekonomi pasar (market economy) pereknomian pasar berdasar pada prinsip spesialisasi kerja dan hal itu tidak diatur oleh siapapun kecuali kondisi pasar itu sendiri.
3.    Persaingan (competition) sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya ekonomi pasar.
4.    Keuntungan (profit) prinsip keuntungan.
Kapitalisme awalnya tumbuh dan berasal dari Amerika Utara dan Eropa. Menurut Tan Malaka (2008: 45), sistem kapitalisme di Indonesia masih muda atau masih prematur karena negara Indonesia baru menggunakan mesin untuk proses industri seperempat abad belakangan ini. Susunan kapital Indonesia yang prematur ini dikarenakan penjajah yang terlalu lama mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, sehingga orang Indonesia belum dapat menggunakan sumber daya alamnya dengan maksimal. Terdapat beberapa faktor internal yang juga memengaruhi prematurnya sistem kapitalisme di Indonesia. Faktor perbedaan bentang alam Indonesia, misalnya. Pulau Jawa memiliki lebih banyak lahan pertanian dan Pulau Sumatera memiliki lebih banyak lahan yang mengandung sumber daya alam, seperti besi dan minyak tanah. Dengan demikian, mesin perindustrian modern yang kini lebih berkembang di Pulau Jawa, sesungguhnya lebih tepat jika digunakan untuk mengembangkan Pulau Sumatera. Selain itu, sistem kapitalis menyebabkan perpindahan penduduk. Penduduk yang tadinya berada di desa berpindah ke kota karena tingginya tingkat kebutuhan tenaga kerja di kota-kota besar. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kapitalisme di Indonesia tidak merata. Susunan kapitalisme Indonesia selanjutnya terus berkembang, namun tidak secara alami (Malaka, 2008: 48). Berbeda dengan Amerika Utara dan Eropa yang kapitalismenya muncul dan berkembang secara alami, perkembangan kapitalisme di Indonesia disebabkan oleh pengaruh penjajah asing yang mengeksploitasi kekayaan Indonesia untuk memuaskan kepentingan pihak asing tersebut. Hal ini menghasilkan kemajuan ekonomi Indonesia yang tidak teratur. Sampai saat ini, Indonesia belum dapat menghasilkan barang-barang untuk penduduknya sendiri maupun untuk perdagangan luar negeri. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga, serta bahan-bahan produksi yang dipakai oleh rakyat Indonesia mayoritas tidak dibuat sendiri (Malaka, 2008: 49).
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dengan rezimnya menerapkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pembangunan nasional dan kesejahteraan ekonomi. Dalam praktiknya, rezim Soeharto membuat kapitalisme di Indonesia semakin kuat. Pembangunan besar-besaran membuat para investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tatanan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto mencerminkan suatu bentuk pemerintahan oligarki yang menempatkan golongan-golongan dengan power yang kuat atau penguasa sebagai pengambil keuntungan untuk memenuhi kepentingannya (Robinson & Hadiz, 2004: 42-3). Dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994, Presiden Soeharto menyatakan bahwa siap atau tidak siap, Indonesia akan memasuki perdagangan bebas. Momentum inilah yang menjadi cikal bakal perdagangan bebas di Indonesia hingga kini. Para investor asing yang membanjiri pasar usaha Indonesia semakin mendesak para investor pribumi. Persaingan serta sistem pemerintahan oligarki menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi dan inflasi di tahun 1997-1998, hingga akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya (Pusat Penelitian Politik, 2009), meninggalkan jejak-jejak kapitalisme di Indonesia.





IMPERIALISME
Imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium. Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur/budaya, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.
Menurut Lenin dalam Imperialism the Highest Stage of Capitalism” (1916),  Imperialisme sebagai sebuah sistem ekonomi-politik. Pemahaman ini sebagai dasar bagi sebuah upaya untuk memahami imperialisme secara keseluruhan. Ciri pertama dan terpenting dari Imperialisme adalah "konsentrasi kekuatan produktif". Ciri kedua adalah "oligarki kapital". Imperialisme merupakan sebuah definisi yang akan mengikutsertakan lima fitur utama seperti berikut ini: (1) Konsentrasi produksi dan kapital telah berkembang ke sebuah tahapan yang begitu tinggi sehingga menciptakan monopoli-monopoli yang memainkan sebuah peran menentukan di dalam kehidupan ekonomi;  (2) Merger antara kapital perbankan dan kapital industrial, dan pembentukan, berdasarkan “kapital finansial” ini, sebuah oligarki finansial; (3) Ekspor kapital, yang berbeda dari ekspor komoditas, menjadi jauh lebih penting;  (4) Pembentukan asosiasi-asosiasi monopoli kapitalis internasional yang membagi dunia di antara diri mereka sendiri, dan (5) pembagian teritorial dari seluruh dunia oleh kekuatan-kekuatan kapitalis terbesar telah selesai. Imperialisme adalah kapitalisme pada tahap perkembangan dimana dominasi monopoli dan kapital finansial telah menjadi kenyataan, dimana ekspor kapital telah menjadi sangat penting; dimana pembagian dunia di antara sindikat-sindikat internasional telah dimulai; dimana pembagian teritori-teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis terbesar telah selesai.
Imperialisme dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism). Inti imperialisme kuno adalah semboyan gold, gospel, and glory (kekayaan, penyebaran agama dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal.
  2. Imperialisme Modern (Modern Imperialism). Inti imperialisme modern ialah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebgai tempat penanaman modal bagi kapital surplus.
Menurut Hobson, seorang penulis Inggris, berjudul Imperialisme (1902), “Imperialisme yang baru berbeda dengan yang lama; pertama, imperialisme yang baru menggantikan ambisi sebuah kekaisaran tunggal dengan teori dan praktek kekaisaran-kekaisaran yang saling bersaing, tiap-tiap dari mereka termotivasi oleh nafsu kemegahan politik dan laba komersial yang serupa; kedua, dalam dominasi finansial atau investasi terhadap kepentingan perdagangan”.
Menurut Morgenthau, Hans J. dalam bukunya Age of Empire II (1999),  Age of Empires merupakan masa dimana kerajaan-kerajaan besar menguasai dunia seperti Mesopotamia, Makedonia, Romawi, Mesir, Byzantines, Celts, Persia, Vikings, Turki, India, dan Cina pada abad 16 sampai abad ke 19. Kerajaan-kerajaan ini pernah menjadi pusat peradaban dunia dengan warisan budaya yang sangat  kaya. Pada masa ini dilakukan ekspedisi pelayaran serta pengejaran 3G (Glory, Gold and Gospel). Bangsa Eropa melakukan eksplorasi dan ekspansi sejak abad ke 15 dan 16. Dalam rentang waktu singkat negara-negara besar mampu menaklukkan negara-negara berkembang dan akhirnya mendapatkan koloni baru.  
Teori-teori ekonomi tentang imperialisme dikembangkan dalam pemikiran Marxis dan Liberal. Teori Marxis tentang imperialisme bertopang pada keyakinan yang menjadi dasar semua pemikiran marxis, bahwa segenap gejala politis merupakan refleksi dari kekuatan ekonomis. Gejala politis dari imperialisme merupakan hasil sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung sumbernya-yakni kapitalisme. Hal ini merupakan pemikiran V.I.Lenin (1870-1924) Imperialism the Highest Stage of Capitalism” (1916). Teori ini membagi negara menjadi negara core (negara kapitalis yang merupakan kelas borjuis) dan negara periphery (negara berkembang yang merupakan kelas proletar). Eropa muncul sebagai negara core yang mengekspansi negara periphery pada zaman kekaisaran.
Perang Austria-Prusia tahun 1866, dan Perang Perancis-Jerman tahun 1870 merupakan perang politik imperialistis yang dilakukan dengan tujuan untuk  menetapkan pembagian kekuasaan yang baru, pertama untuk keuntungan Prusia di dalam Jerman dan kemudian untuk keuntungan Jerman di dalam sistem negara di Eropa. Semua imperialisme pada masa pra-kapitalis dan masa kapitalis cenderung menggulingkan hubungan kekuasaan yang sudah terbentuk dan menggantikannya dengan dominasi kekuasaan imperialistis. Tujuan utama ialah kekuasaan dan bukan keuntungan ekonomis. Imperialisme sebagai usaha untuk meruntuhkan kekuasaan yang ada, mengandung resiko perang yang tidak dapat dielakkan lagi.
Imperialisme didorong oleh beberapa faktor, perang yang berakhir dengan kemenangan bilamana suatu negara terlibat dalam perang dengan negara lain, mungkin sekali bahwa negara yang mengharapkan kemenangan akan menempuh politik yang berusaha memperoleh perubahan tetap dari hubungan kekuasaan dengan musuh yang dikalahkan. Imperialisme yang dilakukan oleh Jerman dari tahun 1935 sampai akhir perang Dunia II merupakan dorongan atas kegagalan Perang.
Tujuan imperialisme dapat berupa penguasaan atau dominasi dunia yang terorganisasi secara politis; yaitu, imperium dunia (world empire), imperium kontinental, dan kekuatan yang dilokalisir. Dengan kata lain, politik imperialistis dapat mempunyai batasan selain yangditentukan oleh kekuatan perlawanan dari daerah yang merupakan tujuan imperalisme suatu negara, atau dapat berupa batas yang ditentukan secara geografis, seperti perbatasan geografis suatu benua, atau dapat diatasi oleh tujuan-tujuan kekuatan imperialistik yang dilokalisir.
Imperium Dunia terlihat dalam politik ekspansionis Alexander Agung, Roma, Arab abad ke 7 dan 8, Napoleon I, dan Hitler. Mereka semua mempunyai dorongan yang sama kearah ekspansi yang tidak mengenal batas-batas rasional, dan kalau tidak dihentikan oleh kekuatan yang lebih unggul, akan terus sampai ke batas-batas dunia politik. Imperium kontinental merupakan imperialisme yang ditentukan secara geografis dalam politik negara-negara di Eropa untuk memperoleh kekuasaan tertinggi. Contohnya dapat terlihat saat Continental Louis XIV , Napoleon II dan Wilhelm II. Kerajaan Piedmont di bawah Cavour yang berusaha menguasai jazirah Italia di tahun 1850-an, Perang Balkan tahun 1912 dan tahun 1913 yang ingin menguasai Balkan, Mussolini yang mencoba merebut Laut Tengah untuk Italia- semua ini adalah contoh imperialisme yang ditentukan secara geografis atas dasar politik continental (Morgenthau, 2010: 74).
Metode imperialisme telah berubah pada zaman Age of Empires dan era dunia baru di Eropa saat ini. Penggunaan imperialisme militer yang merupakan imperialisme paling kuno dan paling kasar telah beralih menjadi imperialisme ekonomi dan imperialisme kebudayaan. Contoh modern yang terkenal dalam imperialisme ekonomi ialah “diplomasi dolar” dan “diplomasi minyak”. Imperialisme ekonomi telah memainkan peranan penting dalam sejarah imperialisme Inggris dan Perancis. Persaingan dan perdagangan politik Inggris dan Rusia terhadap Iran merupakan perlombaan imperialisme ekonomi dimana keduanya berusaha mengendalikan pemerintah Iran yang pada gilirannya menguasai ladang minyak maupun jalur ke India.
Selain imperialisme ekonomi, imperialisme Eropa di Dunia baru ialah imperialisme kebudayaan. Imperialisme kebudayaan merupakan soft power yang tujuannya bukan untuk penaklukkan wilayah atau mengendalikan kehidupan ekonomi, akan tetapi penaklukan dan pengendalian pemikiran manusia sebagai alat untuk hubungan kekuasaan antara dua negara. Dalam zaman modern, organisasi agama yang beraliansi atau yang berhubungan erat dengan pemerintah, memainkan peran penting dalam politik imperialistis yang bersifat kebudayaan. Politik Rusia di bawah pemerintahan Tsar memakai hubungan ganda Tsar sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala Gereja Ortodoks dengan tujuan memperluas kekuasaan Rusia sampai ke pengikut Ortodoks di negara asing.
Globalisasi sebagai fenomena abad modern telah mengubah pola imperialisme dengan lebih memfokuskan pada kerjasama antar Negara maju dan berkembang. Pertumbuhan kuantitas konsumsi dalam pasar global menyebabkan Eropa melakukan imperialisme ekonomi yang merupakan soft power imperialism. Tema sentral imperialisme telah berubah dari zaman kekaisaran seiring perubahan pengetahuan dan revolusi industri. Walaupun negara tetap membutuhkan sumber daya alam untuk dieksplorasi, liberalisme merupakan jawabannya. Penanaman paham ideologi serta nilai-nilai barat di Eropa merupakan imperialisme baru yang merupakan hasil pembelajaran dari Age of empires yang pernah ada.






NASIONALISME

Secara etimologi,  nasionalisme berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air; memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa; memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara; persatuan dan kesatuan. Nasionalisme dapat juga diartikan sebagai paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu yang harus diberikankepada negara dan bangsanya, dengan maksud bahwa individu sebagai warga negara memiliki suatu sikap atau perbuatan untuk mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi kemajuan, kehormatan dan tegaknya kedaulatan negara dan bangsa.
Ada 2 (dua) macam arti nasionalisme
1)   Nasionalisme dalam arti sempit: paham kebangsaan yang berlebihan dengan memandang bangsa sendiri lebih tinggi (unggul) dari bangsa lain. Paham ini disebut dengan istilah “Chauvinisme”. Chauvinisme pernah dianut di Italia (masa Bennito Mussolini); Jepang (masa Tenno Haika) dan Jerman (masa Adolf Hitler).
2)   Nasionalisme dalam arti luas : paham kebangsaan yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan tanah airnnya dengan memandang bangsanya itu merupakan bagian dari bangsa lain di dunia. Nasionalisme arti luas mengandung prinsip-prinsip: kebersamaan; persatuan dan kesatuan; dan demokrasi (demokratis).

Kebanyakan teori menyebutkan bahwa nasionalisme dan nilai-nilainya berasal dari Eropa. Sebelum abad ke-17, belum terbentuk satu negara nasional pun di Eropa. Yang ada pada periode itu adalah kekuasaan kekaisaran-kekaisaran yang meliputi wilayah yang luas, misalnya kekuasaan kekaisaran Romawi Kuno atau Kekaisaran Jerman di bawah pimpinan Karolus Agung. Kekuasaan bergandengan tangan dengan gereja Katolik, sehingga masyarakat menerima dan menaati penguasa yang mereka anggap sebagai titisan Tuhan di dunia.
Karena itu, kesadaran akan suatu wilayah (territory) sebagai milik suku atau etnis tertentu belum terbentuk di Eropa sebelum abad ke-17. Di awal abad ke-17 terjadi perang besar-besaran selama kurang lebih tiga puluh tahun antara suku bangsa-suku bangsa di Eropa. Misalnya, perang Perancis melawan Spanyol, Perancis melawan Belanda, Swiss melawan Jerman, dan Spanyol melawan Belanda, dan sebagainya. Untuk mengakhiri perang ini suku bangsa yang terlibat dalam perang akhirnya sepakat untuk duduk bersama dalam sebuah perjanjian yang diadakan di kota Westphalia di sebelah barat daya Jerman. Pada tahun 1648 disepakati Perjanjian Westphalia yang mengatur pembagian teritori dan daerah-daerah kekuasaan negara-negara Eropa yang umumnya masih dipertahankan sampai sekarang.
Meskipun demikian, negara-bangsa (nation-states) baru lahir pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Negara bangsa adalah negara-negara yang lahir karena semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme yang pertama muncul di Eropa adalah nasionalisme romantis (romantic nationalism) yang kemudian dipercepat oleh munculnya revolusi Perancis dan penaklukan daerah-daerah selama era Napoleon Bonaparte. Beberapa gerakan nasionalisme pada waktu ini bersifat separatis, karena kesadaran nasionalisme mendorong gerakan untuk melepaskan diri dari kekaisaran atau kerajaan tertentu. Misalnya, setelah kejatuhan Napoleon Bonaparte, Kongres Wina (1814–1815) memutuskan bahwa Belgia yang sebelumnya dikuasai Perancis menjadi milik  Belanda, dan 15 tahun kemudian menjadi negara nasional yang merdeka. Atau, Revolusi Yunani tahun 1821–1829 di mana Yunani ingin melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Kekaiseran Ottoman dari Turki. Sementara di belahan Eropa lain, nasionalisme muncul sebagai kesadaran untuk menyatukan wilayah atau daerah yang terpecah-belah. Misalnya, Italia dibawah pimpinan Giuseppe Mazzini, Camillo Cavour, dan Giusepe Garibaldi, mempersatukan dan membentuk Italia menjadi sebuah negara-kebangsaan tahun 1848. Di Jerman, kelompok-kelompok negara kecil akhirnya membentuk sebuah negara kesatuan Jerman dengan nama Prusia tahun 1871 di bawah Otto von Bismarck. Banyak negara kecil di bawah kekuasaan kekaisaran Austria pun membentuk negara bangsa sejak awal abad 19 sampai masa setelah Perang Dunia I. Sementara itu, Revolusi 1917 di Rusia telah melahirkan negara-bangsa Rusia.
Semangat nasionalisme menyebar ke seluruh dunia dan mendorong negara-negara Asia–Afrika memperjuangkan kemerdekaannya. Ini terjadi setelah Perang Dunia I dan selama Perang Dunia II. Hanya dalam dua puluh lima tahun pasca Perang Dunia II, ada sekitar 66 negara-bangsa yang lahir. Indonesia termasuk salah satu dari negara bangsa yang baru lahir pasca Perang Dunia II ini. Semangat nasionalisme telah mendorong negara-negara di bawah bekas Yugoslavia dan bekas Uni Soviet lahir sebagai negara-negara bangsa. Dapat dipastikan bahwa ke depan, nasionalisme akan terus menjadi ideologi yang menginspirasi dan mendorong gerakan pembentukan komunitas bersama berdasarkan karakteristik etnis, kultur, atau pun politik.
Demikianlah, negara-bangsa (nation-state) lahir sebagai bentuk dari kesadaran sebagai bangsa (nasionalisme). Umumnya negara-bangsa adalah produk zaman modern, karena lahir sejak akhir abad ke-18 dengan puncak pada era pasca Perang Dunia II. Dalam negara-bangsa yang berdaulat, nasionalisme tetap dipegang teguh sebagai ideologi yang mempersatukan segenap elemen masyarakat demi mewujudkan tujuan hidup bersama.
Inilah juga sebabnya mengapa dewasa ini negara-bangsa umumnya menjalankan kekuasaannya secara demokratis melalui sistem perwakilan. Ini mencegah tindakan otoriter elit atau penguasa yang mau memonopoli dan menyalahgunakan kekuasaannya, bahkan atas nama nasionalisme sekalipun. Nasionalisme yang demokratis dan berdasarkan konstitusi akan memposisikan masyarakat sebagai warga negara yang ikut aktif dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lahirnya paham nasionalisme di Eropa diikuti dengan terbentuknya negara-negara nasional atau negara kebangsaan. Bangsa-bangsa Eropa cenderung menindas bangsa-bangsa yang dijajah sehingga bangkitlah semangat nasionalisme di negara-negara jajahan. misalnya, gerakan nasionalisme di Asia dan Afrika, seperti Cina, India, Indonesia, Turki, dan Mesir. Adapun tindakan dari negara-negara di gerakan nasionalisme Asia dan Afrika tersebut yaitu:
1)   Nasionalisme Cina
Nasionalisme Cina lahir setelah rakyat Cina merasa kecewa terhadap penguasa Manchu antara tahun 1644-1912 yang dinilai bukan bangsa asli Cina dan semakin memuncak setelah Inggris mampu mengalahkan pasukan kaisar dalam Perang Candu tahun 1842. Salah satu tokoh nasionalis Cina adalah Dr. Sun Yat Sen yang berusaha membangun negara Cina modern dengan menggalang persatuan di antara kelompok Cina.
2)   Nasionalisme India
Gerakan politik muncul setelah berdirinya Indian National Congress (Partai Kongres). Organisasi Partai Kongres merupakan pencetus rasa kebanggaan rakyat India. Salah satu tokoh nasionalis India adalah Mahatma Gandhi. Dalam memperjuangkan kemerdekaan India, Mahatma Gandhi melancarkan gerakan Ahimsa, Satyagraha, Hartal, dan Swadesi.Ahimsa.
3)   Nasionalisme Turki
Nasionalisme Turki diawali oleh naik takhtanya Sultan Hamid II tahun 1876. Penindasan yang dilakukan oleh Sultan Hamid II mendorong sekelompok mahasiswa dan perwira militer Turki untuk memberontak terhadap Sultan Hamid II. Kelompok perlawanan yang paling menonjol adalah Gerakan Turki Muda. Akhirnya, Mustafa Kemal Pasha memanfaatkan untuk memimpin pergerakan nasional Turki yang semakin lemah akibat Perang Dunia I.
4)   Nasionalisme Mesir
Penjajahan Inggris di Terusan Suez memunculkan rasa nasionalisme bagi rakyat Mesir. Inggris ingin menguasai wilayah tersebut karena letaknya strategis sebagai wilayah transit perdagangan minyak. Pada tahun 1882, Mesir menuntut kemerdekaannya kepada Inggris. Akhirnya, tahun 1922 Mesir menjadi kerajaan di bawah persemakmuran Inggris. Pada tahun 1936, Mesir menjadi negara merdeka penuh.
Indonesia telah dijajah oleh bangsa Barat sejak abad XVII, namun kesadaran nasional sebagai sebuah bangsa baru muncul pada abad XX. Kesadaran itu muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Karena, melalui pendidikan muncul kelompok terpelajar atau intelektual yang menjadi motor penggerak nasionalisme Indonesia. Inilah yang kemudian dikenal dengan periode pergerakan nasional. Perjuangan tidak lagi dilakukan dengan perlawanan bersenjata tetapi dengan menggunakan organisasi modern.
Nasionalisme berhubungan dengan penemuan identitas nasional. Kesadaran akan identitas nasional ini dapat dipicu oleh letak geografis, misalnya sekelompok masyarakat hidup dalam sebuah wilayah yang sama menyadari keberadaannya sebagai satu bangsa. Ini mirip kesadaran sebagai keluarga besar. Tapi, kesadaran akan identitas nasional juga bisa lahir karena pengalaman pahit tertentu yang dialami secara bersama, meskipun masyarakat tidak hidup d-lam satu wilayah geografis yang sama. Inilah yang dialami oleh bangsa Indonesia. Pengalaman dijajah Belanda selama ratusan tahun telah melahirkan kesadaran akan identitas diri dan identitas nasional yang ingin melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme apapun. Meskipun secara geografis Indonesia memiliki ribuan pulau dan ratusan ribu suku bangsa, interaksi masyarakat di Nusantara sejak perdagangan antarpulau dan antarbenua di sekitar abad ke-4 dan ke-5 masehi sampai masa-masa kejayaan kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan bagian dari proses pembentukan identitas kebangsaan Indonesia. Dari situlah identitas nasional Indonesia dirumuskan. Bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di kepulauan Nusantara, meskipun beranekaragam, mereka tetaplah satu.
Nasionalisme berhubungan dengan kesadaran akan teritori. Ketika Napoleon Bonaparte menguasai banyak negara di Eropa, lahir kesadaran bahwa teritori atau tanah airnya sedang berada di bawah kekuasaan asing. Kesadaran ini memunculkan semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan. Demikian pula Indonesia. Wilayah dari Sabang sampai Merauke yang diduduki dan dieksploitasi Belanda untuk kepentingannya telah melahirkan kesadaran akan sebuah tanah air (teritori) yang harus dibebaskan supaya masyarakatnya bisa membangun ke-hidupan bersama yang adil, damai, dan sejahtera. Jadi, kesadaran akan teritori ini tidak bersifat regional atau lokal—terbatas pada wilayah tertentu saja yang dihuni oleh kelompok suku atau etnis yang sama—tetapi kesadaran ke-Indonesia-an. Karena itu, arti “tanah airku” dalam nasionalisme Indonesia bukan terbatas tanah air (lokalitas)  tempat seseorang dilahirkan—desa tertentu atau pulau tertentu—tetapi sebuah tanah air Indonesia.  Akibatnya, masyarakat Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai berbang-sa Indonesia sungguh menyadari diri sebagai beraneka ragam suku, agama, ras, bahkan wilayah (territory).
Nasionalisme Indonesia yang lahir sejak tahun 1928 memang lebih bersifat nasionalisme politik. Artinya, kesadaran sebagai bangsa Indonesia yang diikrarkan para pemuda pada hari Sumpa Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan sebuah kesadaran politik untuk menggalang persatuan demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mohammad Yamin menyebut, bahwa nasionalisme Indonesia pada saat kelahiran Budi Utomo (10 Mei 1908) bersifat nasionalisme kultur. Nasionalisme kultur bangsa Indonesia sebenarnya sudah mulai terbentuk sejak abad perdagangan antarpulau di era abad ke-4 dan ke-5 masehi dan mencapai puncak pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Meskipun demikian, harus diingat bahwa nasionalisme tidak harus terbatas pada nasionalisme politik. Bahkan dalam sebuah negara bangsa pun masih ada kesadaran akan nasionalisme berdasarkan kesamaan suku, etnis, agama, atau pulau tertentu. Di dunia pun hal semacam ini tetap ada. Misalnya, orang Afrika yang menjadi warga negara Amerika Serikat merasa memiliki semangat kebangsaan Afrika, mengidentifikasi diri dan kemudian memproduksi kebudayaan khas Afro-Amerika dalam sebuah negara-bangsa Amerika Serikat. Mereka sama sekali tidak ingin melepaskan diri dan kewarganegaraannya dari Amerika Serikat. Di Indonesia pun hal semacam ini dapat terjadi. Kesadaran kebangsaan orang Aceh, orang Makassar, Minahasa, Madura, Jawa, Papua, atau Sunda, dapat dipahami sebagai kesadaran nasionalisme kultural. Kesadaran inilah yang memberi makna dan jati diri pada masyarakat. Negara tidak perlu takut bahwa kesadaran semacam ini akan berkembang ke arah separatisme dan upaya melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang penting negara sungguh-sungguh menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar.
Nasionalisme Indonesia muncul sebagai reaksi dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang ditimbulkan oleh adanya kolonialisme. Oleh karena itu, gerakan nasionalisme pada awal abad XX tidak bisa dipisahkan dari praktik kolonialisme sebab keduanya merupakan hubungan sebab akibat. Hanya saja, pada tahap awal nasionalisme berkembang pada tingkat elite yaitu kelompok bangsawan terpelajar.
Tahapan perkembangan nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut.
1)      Periode Awal Perkembangan
Dalam periode ini gerakan nasionalisme diwarnai dengan perjuangan untuk memperbaiki situasi sosial dan budaya. Organisasi yang muncul pada periode ini adalah Budi Utomo, Sarekat Dagang Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah.
2)      Periode Nasionalisme Politik
Periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia mulai bergerak dalam bidang politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Organisasi yang muncul pada periode ini adalah Indische Partij dan Gerakan Pemuda.
3)      Periode Radikal
Dalam periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia ditujukan untuk mencapai kemerdekaan baik itu secara kooperatif maupun non kooperatif (tidak mau bekerjasama dengan penjajah). Organisasi yang bergerak secara non kooperatif, seperti Perhimpunan Indonesia, PKI, PNI.
4)      Periode Bertahan
Periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia lebih bersikap moderat dan penuh pertimbangan. Diwarnai dengan sikap pemerintah Belanda yang sangat reaktif sehingga organisasi-organisasi pergerakan lebih berorientasi bertahan agar tidak dibubarkan pemerintah Belanda. Organisasi dan gerakan yang berkembang pada periode ini adalah Parindra, GAPI, Gerindo.
Dari perkembangan nasionalisme tersebut akhirnya mampu menggalang semangat persatuan dan cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa Indonesia yang bersatu dari berbagai suku di Indonesia.




FASISME
Fasisme merupakan paham politik ideologi yang diambil dari bahasa Italia, “fascio” atau dari bahasa Latin yaitu “fascis” yang artinya seikat tangkai kayu. Ikatan kayu tersebut ditengahnya terdapat kapak. Pada masa Kerajaan Romawi, fascis merupakan symbol dari kekuasaan pejabat pemerintah. Dalam pengertian modern, fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengagungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Untuk mencapai tujuan dari fasisme, harus ada sosok kharismatik dalam memimpin bangsa dan negara. Tokoh kharismatik tersebut sebagai symbol kebesaran negara dan didukung masa atau rakyat yang fanatik terhadap pemimpin tersebut.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dengan pemimpinnya Mussolini, sementara di Jerman sebuah paham yang dihubungkan dengan fasisme yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme tidak menekankan pada ultra-nasionalsme saja namun juga rasialisme dan rasisme yang sangat kuat. Pada masa Perang Dunia II, fasisme dan nazisme memberi gambaran yang sangat mengerikan tentang  kaganasan dan ketidakmanusiaan.
Istilah fasisme pertama kali muncul pada masa Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919 saat berdirinya gerakan Fasis Italia dan selanjutnya paham kediktatoran fasisme dirubah lebih moderat. Sementara itu, gagasan fasisme yang lebih sempit dan radikal diterapkan oleh Adolf Hitler dengan paham nasionalis-sosialis atau Nazisme. Nazisme menganut ideologi campuran antara fanatisme ras dan pragmatisme (Roger Eatwell,2004:248).
Secara umum yang dianggap dan mewakili fasisme adalah Fasisme di Italia pada jaman Mussolini dan Nazisme Jerman, dimana ideology tersebut sebagai penyebab utama meletusnya Perang Dunia II tahun 1939-1945. Fasisme digunakan untuk mengacu pada fasisme di Italia, sedangkan Nazisme digunakan untuk menyebut fasisme di Jerman pada masa Adolf Hitler. Namun pada perkembangannya kekuasaan sebuah rezim di belahan dunia dianggap sebagai fasisme juga seperti Pemerintahan Jepang pada Perang Dunia II, kediktatoran Spanyol pada masa Jenderal Franco (1939-1975), Pemerintahan Peron di Argentina (1943-1955), Pemerintahan Jenderal Augusto Pinochet di Chike (1973-1988) dan yang mutakhir rezim Sadam Husein di Irak yang akhirnya pemerintahan Sadam Husein ditumbangkan oleh Amerika Serikat.
Fasisme berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi. Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat, identitas kolektif tunggal, dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. Pemerintah fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas militer. Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis. Fasisme menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hirarki, dan semangat. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme (sebagai gerakan borjuis) dan marxisme (sebagai sebuah gerakan proletar) untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas.
Kondisi penting lainnya dalam pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan industrialisasi. Munculnya negara industri, memunculkan ketegangan sosial dan ekonomi. Jika liberalisme adalah penyelesaian ketegangan dengan jalan damai yang mengakomodasi kepentingan yang ada, maka fasisme mengingkari perbedaan kepentingan secara paksaan. Fasisme mendapat dukungan pembiayaan dari industriawan dan tuan tanah, karena kedua kelompok ini mengharapkan lenyapnya gerakan serikat buruh bebas, yang dianggapnya menghambat kemajuan proses produksi dalam industri. Sumber dukungan lain bagi rezim fasis adalah kelas menengah, terutama pegawai negeri. Mereka melihat fasisme adalah sebuah sarana untuk mempertahankan prestise yang ada sekaligus perlindungan politik. Fasisme juga memerlukan dukungan dari kaum militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia dan Jepang, sebagai jalan menuju militerisasi rakyat.
Meskipun fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis menganggap dirinya tidak berguna dan diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, dengan menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah.
Petunjuk ke arah pemahaman fasisme terletak pada kekuatan dan tradisi masyarakatnya. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik, ditandai dengan munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi.
Fasisme juga memiliki ciri untuk menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya.
Sebagai cara mempertahankan kesatuan, fasisme juga menciptakan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah cukup untuk tidak sekedar berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat imperialisnya. Mereka akan menjanjikan kemenangan dalam permusuhan dengan bangsa lain. Kaum fasis senantiasa ingin menunjukkan bahwa mereka lebih unggul dari bangsa atau negara manapun.
Tidak seperti komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal.
Namun demikian, bukan berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis di dunia, karena wawasannya yang bersifat moderat.  Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan.  Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan.  Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat.  Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Terakhir atau ketujuh, fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.
Di Indonesia, pada tahun 1965, kekuatan militer melakukan kudeta dan mendirikan kediktatoran militer. Walau banyak kemiripannya dengan rezim Nazi, dengan pembantaian yang tidak kalah kejamnya dengan kamp konsentrasi Nazi, namun rezim kediktatoran militer Orde Baru bukanlah rezim fasis. Ada perbedaan mendasar terkait dengan keterlibatan massa fanatik borjuis kecil yang menjadi fitur utama dari fasisme Italia dan Jerman. Akan tetapi ada juga kesamaan-kesamaan yang fundamental terkait dengan proses perkembangannya: krisis akut tak-terpecahkan di dalam masyarakat Indonesia yang secara efektif telah berlangsung sejak 1945; kekuatan buruh dan tani yang terus meningkat dan memasuki periode revolusioner, dengan sejumlah kesempatan untuk merebut kekuasaan; ketidakmampuan kepemimpinan buruh, dalam hal ini PKI, untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme; kebangkrutan borjuasi nasional, yang terlalu lemah untuk membangun sebuah parlemen borjuasi yang stabil dan mengendalikan situasi.
Seperti yang telah kita paparkan, kaum kapitalis biasanya lebih memilih berkuasa dengan metode-metode parlementer borjuis. Metode ini lebih murah dan efektif. Akan tetapi di negeri-negeri Dunia Ketiga yang kontradiksinya sangat akut dan sistem parlementer borjuisnya lemah (yang merefleksikan lemahnya kaum borjuasi itu sendiri), sering kali mereka tidak punya privilese ini. Dalam banyak situasi, mereka terpaksa menggunakan aparatus pemaksa Negara, secara parsial maupun terbuka lewat kudeta militer.
Dalam konteks Indonesia, militer di bawah Soeharto terdorong melakukan kudeta setelah ada periode panjang revolusioner di Indonesia, di mana tidak ada satu pun kekuatan yang mampu menyediakan jalan keluar. PKI menolak merebut kekuasaan dan mengekor pada borjuasi nasional dengan dalih bahwa tahapan selanjutnya dari revolusi Indonesia adalah revolusi borjuasi yang akan membawa kapitalisme yang mandiri, dan baru setelah itu sosialisme di masa depan yang jauh. Kaum borjuasi nasional sendiri terpecah-pecah. Di satu pihak adalah sayap kiri yang personifikasinya adalah Soekarno, yang hanya bisa mendapatkan dukungan massa dengan retorika-retorika anti-imperialis dan populis, tapi tanpa bisa merealisasikan secara riil program-program anti-imperialis dan populisnya karena logika kapitalisme tidak memungkinkan realisasi penuhnya. Sementara sayap kanan kaum borjuasi tidak punya basis dukungan sama sekali dari rakyat. Argumen pro-pasar dan pro-kapital mereka tidak menemukan gaungnya. Situasi revolusioner yang menggantung ini tidak bisa bertahan lama. Masyarakat borjuasi tidak bisa menolerir sebuah situasi di mana jutaan rakyat pekerja terorganisir ke dalam organisasi-organisasi revolusioner, di mana angkatan bersenjatanya juga terbelah. Inilah kondisi-kondisi yang menyiapkan kudeta militer di Indonesia. Melihat borjuasi nasional tidak bisa menyelesaikan situasi yang ada, bergeraklah aparatus militer Negara untuk mengembalikan ketertiban dan kedamaian.
Kebijakan kolaborasi kelas PKI dengan borjuasi nasional yang mengaku ‘progresif’ tidak menyelamatkan mereka dari kudeta militer, tetapi justru menyiapkan kondisi-kondisi untuk kehadiran intervensi militer. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan kolaborasi kelas tidak pernah menghentikan fasisme atau kudeta militer. Kebijakan Front Popular di Spanyol yang diusung oleh Partai Komunis Spanyol yang Stalinis, dimana diserukan agar buruh bersatu dengan kaum borjuasi nasional ‘progresif’ untuk melawan Franco, justru memperlemah perlawanan revolusioner terhadap Franco. Ini harus dibayar mahal dengan kediktatoran fasisme Franco selama 36 tahun.
Selama kapitalisme masih bercokol dan tidak ditumbangkan secara revolusioner, maka bahaya fasisme atau kediktatoran militer akan selalu mengancam. Namun sebelum bahaya fasisme atau kediktatoran militer ini menjadi riil, kelas buruh akan terlebih dahulu diberikan banyak kesempatan untuk menang. Tidak ada satu pun rezim fasis dan rezim kediktatoran militer yang lahir begitu saja karena ada segelintir orang yang menghendakinya. Mereka hadir sebagai kekuatan reaksi terhadap aksi revolusioner buruh.





SOSIALISME
Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran yang masing-masing hendak mewujutkan masyarakat yang berdasarkan hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial demokrat, (2) komunisme, (3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir, 1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad 19, tetapi gerakan ini belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad 19 yaitu sejak terbit bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan) sebagai faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia.
Istilah “sosialis” atau negara sosial demokrat digunakan untuk menunjuk negara yang menganut paham sosialisme “moderat” yang dilawankan dengan sosialisme ”radikal” untuk sebutan lain bagi “komunisme”. Hal ini ditegaskan mengingat dalam proses perkembangannya di negara barat yang pada mulanya menganut paham liberal-kapitalis berkembang menjadi Negara sosialis (sosialis demokrat) (Frans Magnis Suseno,1975: 19-21). Perbedaan yang paling menonjol antara sosialis-demokrat dan komunisme (Marxisme-Leninisme) adalah sosial demokrat melaksanakan cita-citanya melalui jalan evolusi, persuasi, konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan, sebaliknya Marxisme-Leninisme melalui revolusi.
Sosialisme adalah ajaran kemasyarakatan (pandangan hidup) tertentu yang berhasrat menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil produksi secara merata (W.Surya Indra, 1979: 309). Dalam membahas sosialisme tidak dapat terlepas dengan istilah Marxisme-Leninisme karena sebagai gerakan yang mempunyai arti politik, baru berkembang setelah lahirnya karya Karl Marx, Manifesto Politik Komunis (1848). Dalam edisi bahasa Inggris 1888 Marx memakai istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian dalam pengertian yang sama. Marx memakai istilah “komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar nampak lebih bersifat revolusioner (Sutarjo Adisusilo, 1991: 127).
Dalam perkembangannya, Lenin dan Stalin berhasil mendirikan negara “komunis”. Istilah “sosialis” lebih disukai daripada “komunis” karena dirasa lebih terhormat dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka menyebut masa transisi dari negara kapitalis ke arah Negara komunis atau “masyarakat tidak berkelas” sebagai masyarakat sosialis dan masa transisi itu terjadi dengan dibentuknya “negara sosialis”, kendati istilah resmi yang mereka pakai adalah “negara demokrasi rakyat”. Di pihak lain negara di luar “negara sosialis”, yaitu negara yang diperintah oleh partai komunis, tetap memakai sebutan komunisme untuk organisasinya, sedangkan partai sosialis di negara barat memakai sebutan “sosialis demokrat” (Meriam Budiardjo, 1984: 5).
Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Robert Own, adalah orang pertama yang menggunakan kata sosialisme dan dikenal sebagai pelopor sosialisme di Inggris (Henry, 2002: 511). Pemikirannya tentang sosialisme dituangkan dalam buku berjudul “A View of Society, an Essay on the Formation of human Character”. Dalam bukunya tersebut, ia menyatakan bahwa lingkungan sosial berpengaruh pada pembentukan karakter manusia. Ia berusaha mencari cara dengan meningkatkan kesejahteraan pekerjanya.
Sosialisme muncul karena reaksi terhadap liberalisme dan kapitalisme pada abad ke-19. Tahun 1750-1840 di Eropa terjadi revolusi industri yang diawali oleh Inggris, ditandai dengan perubahan dari produksi yang dulunya dikerjakan dengan tangan manusia menjadi dikerjakan dengan mesin-mesin (Dellier, 1999: 188). Akibat dari revolusi industri ini adalah munculnya industri besar-besaran, lahirnya kelompok borjuis dan buruh, urbanisasi dan lahirnya kapitalisme modern. Dampak paling mencolok dari revolusi industri ini adalah kesenjangan antara kaum buruh dan kaum borjuis. Nasib mereka tidak dipedulikan oleh majikannya, mereka harus hidup di perumahan kumuh dan mengais-ngais makanan. Mereka diekploitasi, jam kerja mereka dalam sehari bisa lebih dari 12 jam (Willian Ebenstein,dkk, 1990: 117).  Revolusi sosial yang meletus di Inggris pada awal abad ke-19 ini akhirnya melahirkan sebuah paham baru yang mengusahakan industri di suatu negara tidak hanya dikuasai oleh individu tetapi juga harus ada ikut campur dari negara sehingga lebih demokratis dan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat seluruhnya (Firdaus, 2007: 268). Paham inilah yang kini dikenal dengan sosialime.
Tujuan sosialisme untuk mewujudkan masyarakat sosialis dengan jalan mengendalikan secara kolektif sarana-sarana produksi dan memperluas tanggung jawab negara bagi kesejahteraan rakyat. Dari sekian banyak jenis sosialisme yang berkembang, terdapat dua jenis sosialisme yang berkembang  pesat di dunia dan mewarnai perjalanan panjang sejarah umat manusia, yaitu sosialis-demokratis dan sosialis-komunis. Perbedaan mendasar dari keduanya adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dari sosialisme itu sendiri, yaitu mewujudkan masyarakat sosialis. Perbedaan juga tampak dari kehidupan ditempat paham itu diterapkan.
Paham sosialism-komunis pada dasarnya lebih radikal dibanding sosialism-demokratis. Sosialisme aliran ini menggunakan metode revolusioner dan totaliter. Penganut aliran ini memilih jalan revolusi untuk mencapai cita-cita mereka, menciptakan masyarakat sosialistis. Pendistribusian dan konsumsi didasarkan pada kebutuhannya, sedangkan hak milik perseorangan dalam paham ini tidak diakui. Semua dikuasai dan hak milik atas nama negara. Paham ini masih kuat dipengaruhi oleh filsafat Marxis. Biasanya negara yang menganut paham ini mempunyai pemerintahan yang otoriter seperti yang terjadi di Rusia.
Paham sosialisme-demokrasi bisa dibilang lebih halus bila dibandingkan dengan komunisme. Paham ini menggunakan metode evolusioner dan demokratis. Untuk mencapai tujuan mereka cenderung memilih jalur evolusi, yaitu perubahan bertahap dalam jangka waktu tertentu. Pendistribusian hasil industri dan konsumsi didasarkan pada kecakapan yang dimiliki oleh perorangan, sehingga kesejahteraan ditentukan oleh usaha orang itu. Dalam masalah hak kepemilikan, perorangan diperbolehkan mempunyai hak milik akan tetapi perusahaan dan alat industri yang berhubungan dengan orang banyak harus menjadi hak milik negara dan dikelola sepenuhnya oleh negara. 
Paham sosialisme demokrat berasal dari ideologi sosialisme di negara-negara demokrasi barat. Sosialisme di Indonesia mulai dari bukan merupakan paham baru di Indonesia, sosialisme didasarkan pada teori Karl Marx dan Frederick Engels, tokoh-tokoh sosialisme utopis, perkembangan sosialisme ilmiah, serta pilihan paham sosialisme untuk Indonesia.
Munculnya paham sosialisme di Indonesia ini tidak lepas dari adanya golongan sosialis dari luar negeri dalam menancapkan sosialisme di negeri ini (dulu Hindia Belanda). Diperkirakan sosialisme mulai berkembang di Indonesia ketika sebuah organisasi kaum sosialis yang dibangun tahun 1914 yaitu ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda (Dekker, 1993: 33). Organisasi ini pada awalnya merupakan kumpulan dari kaum sosialis Belanda yang bekerja di Hindia-Belanda, dan dibentuk atas kegelisahan seorang sosialis Belanda yang berhadapan dengan kondisi-kondisi sosial-politik Hindia Belanda saat itu, yaitu Sneevliet atau lengkapnya Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Seneevliet adalah seorang aktivis buruh kereta api di negeri Belanda yang datang ke Indonesia untuk mencari pekerjaan (Lemhanas: 2005:208). Kedatangannya ke Hindia Belanda tahun 1913 telah membawanya menjadi tonggak awal dari kemunculan ide-ide sosialisme di Indonesia.
Gerakan sosialis yang dilakukan oleh Sneevliet ini sebenarnya juga dipengaruhi oleh keadaan yang ada di luar negeri seperti peristiwa di Rusia. Menurut Baars (1991: 384) bahwa dalam artikel "Kemenangan", yang merupakan teriakan gembira dari Revolusi Rusia pada bulan Februari di surat kabar Hindia bulan Maret 1917, Henk Sneevliet, pemimpin kelompok kecil sosialis yang tersisa di Hindia Belanda, menyebabkan proses politik besar pertama publik di koloni.  Atas dasar itulah, membuat keinginan Sneevliet sebagai pejuang kelas di Hindia Belanda saat itu sangat ingin untuk melakukan hal yang sama. Saat itu ISDV mengerti betul bahwa penjajahan Belanda di Indonesia dalam bentuk kolonialisme (pemerintahan Hindia Belanda) merupakan bagian langsung dari cara untuk mempertahankan kapitalisme di Eropa dan Amerika (Imperialisme).
Tetapi mereka masih berbeda pandangan tentang apakah sudah saatnya untuk mempropagandakan ide-ide sosialisme dan mendorong kemerdekaan pada masyarakat Hindia Belanda. Pihak yang lebih moderat yang di kemudian hari berpecah dengan ISDV lebih menekankan pada tugas-tugas kajian bagi kepentingan fraksi SDAP (Partai Sosial Demokrat Belanda) di parlemen Belanda. Sneevliet akhirnya harus berkompromi, dimana selain mempropagandakan ide-ide sosialisme dan kajian-kajian bagi kepentingan SDAP, ISDV disepakati hanya berurusan dengan politik sebatas apa yang tidak dilarang oleh peraturan kolonial. Namun demikian, dalam deklarasi prinsipnya ISDV telah memasukkan prinsip “perjuangan kelas” dan makna kemerdekaan dalam tujuan organisasinya, berbeda dari organisasi-organisasi pergerakan sebelumnya yang lebih menekankan segi kebangsaan (seperti Boedi Oetomo atau Indische Partij) atau keagamaan (seperti Serikat Islam).
Faksi Sneevliet juga mulai mempengaruhi organisasi-organisasi massa besar seperti Insulinde dan Serikat Islam. Usaha ini dilakukan karena ISDV membutuhkan pengikut sosialis dari kalangan pribumi untuk tampil memimpin dan mengorganisasikan perjuangan rakyat, sebagai suatu hal yang sulit dilakukan oleh kaum sosialis berkebangsaan Belanda. Hingga akhirnya Serikat Islam terbukti menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan pemikiran sosialis di kalangan pribumi, dan menjadikan gerakan berbasis massa yang diharapkan Sneevliet mendapatkan sejarahnya di Indonesia.
Sedangkan, disaat pandangan-pandangan sosialis telah mengalir deras dan meraih kepopuleran dalam tubuh SI khususnya cabang Semarang, dan setelah peristiwa revolusi Rusia 1917 yang tersiar ke pelosok dunia, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia dari yang berpandangan nasionalis sampai Islam, dari Tjokroaminoto sampai Soekarno, mulai ikut mempelajari karya-karya Marx dan Engels, khususnya yang berjudul Das Capital (Modal). Dan saat itu dapat dikatakan, tidak ada pemimpin pergerakan yang menolak tujuan-tujuan sosialisme secara umum (yang dianggap sebagai tujuan persamaan antara sesama manusia tanpa penindasan).
Pengusungan prinsip dan tujuan sosialisme kedalam sebuah partai politik akhirnya terjadi pada tahun 1920, yaitu hasil dari perubahan ISDV sendiri menjadi Partai Komunis Indonesia. Dalam komposisi ISDV yang sudah banyak memiliki anggota dari kaum buruh dan pribumi, momentum pendirian partai bernama komunis didorong oleh dua hal. Pertama, terbentuknya Internasional Komunis pada 1919, yang sekaligus mematenkan nama ‘komunis’ secara internasional untuk membedakan diri dari sosial-demokrat secara internasional yang berkhianat pada perjuangan kelas, lalu menggusarkan pemimpin ISDV atas nama ‘sosial-demokrasi’ yang disandangnya. Kedua, faksi yang lebih moderat dalam ISDV kemudian membentuk organ terpisah yang bernama ISDP.
Untuk selanjutnya, harapan pemimpin bangsa Indonesia saat itu yaitu Soekarno, berharap bahwa Indonesia akan menjadi Sosialisme. Mengingat bahwa paham ini memberikan keterbukaan akan asas kebersamaan dan kesetaraan. Bahkan guna memperkuat kedudukannya, maka Presiden Soekarno mengajarkan resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasionalis) dalam pidato memperingati hari ulang tahun RI 17 Agustus 1961. Sosialisme hanya dapat dicapai melalui revolusi yang dikendalikan oleh satu pimpinan nasional, yaitu PBR (Pemimpin Besar Revolusi). Dengan demikian, maka seluruh pejabat termasuk pimpinan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara menurut diberi pangkat menteri, sehingga kedudukannya di bawah presiden (Aning, 2005: 134).
Kemudian di era perkembangan perekonomian, sosialisme juga ikut mempengaruhi adanya pemikiran-pemikiran tentang ekonomi Indonesia, salah satunya adalah Moh. Hatta. Dalam beberapa tulisan pentingnya, Hatta merujuk pada sosialisme barat, yaitu paham sosialisme demokrasi, bukan sosialisme Marx (komunis) yang menghendaki perubahan secara kekerasan (kekerasan). Perkenalan Hatta dengan paham sosialisme sudah berlangsung sejak tahun 1920.
Menurut Harsoyo dkk (2006: 12) bahwa Hatta selain menggunakan istilah kolektivisme, Hatta juga menggunkan istilah sosialisme untuk mengungkapkan hal yang sama tentang masyarakat yang ada dalam idealismenya. Sungguh pun usaha ekonomi masih bisa dikelompokkan dalam tiga cabang besar yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi seperti halnya dalam masyarakat kapitalis, tetapi kelas manusia hilang dalam masyarakat sosialisme. Dalam masyarakaat sosialisme yang ada adalah pembagian fungsi pekerjaan. Menurut pandangan Sri Edi Swasono (dalam Haryoso dkk, 2006: 12-13), sosialisme Indonesia menurut Hatta dicirikan oleh 3 hal:
1.    Sosialisme muncul karena golongan etik agama yang menghendaki adanya persaudaraan dan tolong-menolong antar sesama. Rasa keadilan menggerakkan jiwa untuk berontak terhadap kesengsaraan hidup dan terhadap ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Visi kerajaan Allah dihadirkan dalam dalam hidup masyarakat, supaya manusia hidup dalam suasana sayang menyayangi, persaudaraan, dan bersikap adil. Dengan demikian sosialisme di Indonesia tidak mendasarkaan pada pandangan materialisme dialektik dari Marxisme.
2.    Sosialisme Indonesia merupakan ekspresi dari jiwa berontak bangsa Indonesia yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari penjajah. Sosialisme tumbuh dan sekaligus menjiwai pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia.
3.    Hatta yang kurang menerima pandangan Marxisme, mencari sumber-sumber sosialisme dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hatta menegaskan bahwa dasar-dasar sosialisme Indonesia terdapat pada masyarakat desa yang kecil, yang bercorak kolektif, yang sedikit-sedikit banyaknya masih bertahan sampai sekarang.
      

KOMUNISME

Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik.
Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangan yang berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.
Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis internasional. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. Sedangkan komunis internasional berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme".
Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari pengambilalihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar (lihat: The Holy Family), namun pengorganisasian buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan partai. Komunisme pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme memperkenalkan penggunaan sistem demokrasi keterwakilan yang dilakukan oleh elit-elit partai komunis oleh karena itu sangat membatasi langsung demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana terdapat pada paham liberalisme.
Komunisme adalah pemikiran Karl Marx pada 21 Februari 1848. Ia lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier jerman dari keluarga Yahudi. Para psikolog berkesimpulan bahwa pada diri Karl Marx tertanam kebencian terhadap agama Kristen, sebagaimana juga Frued, yang juga sama-sama Yahudi. Baik Marx maupun Frued menolak agama, khususnya agama Kristen atas nama ilmu pengetahuan, tetapi Marx banyak pengaruhi emosinya, ketimbang Frued. Kebencian terhadap agama berkembang menjadi atheis, apalagi setelah Marx mengikuti pemikiran Ludwig Feuerbach. Marx lebih condong memahami atheis dengan motif-motif psikologi dan emosional.
Selain atheisme yang menjadi landasan filsafat agama Marxisme dan Komunisme, juga Materialisme yang menjadi dasar filsafat tersebut. Paham Materialisme dapat dibagi kedalam dua ciri: pertama, dalam pandangan materialisme alam kebendaan merupakan ukuran nilai-nilai dan norma-norma kenyataan, entah alam rohani yang diasalkan seluruhnya dari pada alam kebendaan, entah itu dipandang sebagai gejala suatu sampingan (epifenomen), entah dianggap sebagai suatu hasil dari materi. Ini berarti konsepsi tentang benda-benda dalam pengalaman sehari-hari, khususnya didalam lingkungan kebudayaan Eropa, dijadikan titik pangkal.
Landasan dasar filsafat Marxisme yang ketiga ialah dialektika, yang berasal dari filsafat Hegel (1770-1831). Dialektika mempunyai teori bahwa alam semesta ini bukan tumpukan yang terdiri atas segala sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri dan terpisah-pisah, tetapi merupakan keseluruhan yang bulat dan berhubungan satu sama lain bahwa dalam perkembangan alam semesta ini terdpat perubahan dari kuantitatif ke kualitatif dan adanya pertentangan didalam benda itu sendiri (kontradiksi intern). Singkatnya dialektika bercirikan empat asas, yaitu gerak saling berhubungan, perubahan dari kuantitatif ke kualitatif dan sebaliknya dan kontradiksi intern.
Historis-materialis yang merupakan dasar pembahasan penghidupan masyarakat oleh Marx, ternyata berasal dari teori evolusi Darwin. Hal ini terlihat dengan jelas dari surat yang dikirim oleh Marx kepada Engels, setelah ia mempelajari buku yang ditulis Darwin itu. Yang diantara lain berbunyi: “aku menerima pandangan ini sebagai dasar biologis untuk filsafat sejarahku”.
Perbedaan Marxime dengan Komunisme, pertama, “Marxisme” tidak sama dengan “komunisme”. Komunisme yang disebut dengan “komunisme internasional” adalah nama dari “gerakan kaum komunis”. Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak Revolusi Oktober 1917 di bawah W.I Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional. Istilah komunis juga digunakan untuk “ajaran komunisme” atau Marxisme-Lenisme yang menjadi ajaran atau ideologi resmi komunisme. Jadi, Marxisme menjadi komponen penting ideologi komunisme. Istilah “Marxisme” sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temannya Friedrich Engels (1820-1895) dan oleh tokoh teori Marxis Karl Kautsky (1854-1938).
Komunisme bukan hanya bergerak di Eropa, namun sudah menyebar hampir keseluruh dunia termasuk Indonesia, sehingga menimbulkan banyak pertentangan dikalangan masyarakat Indonesia diantara adalah munculnya gerakan Partai Komunis Indonesia. Ideologi komunisme ke Indonesia tidak pernah terlepas dari peranan seorang warga negara Belanda yang bernama Hendricus Josephus Franciscus Maria Sneevliet. Pada awal masuknya ke Indonesia Sneevliet bekerja disalah satu harian di Surabaya yang bernama Soerabajasche Handelsbad sebagai staff redaksi di harian tersebut. Namun tidak lama berada di Surabaya, Sneevliet memutuskan untuk pindah ke Semarang dan bekerja sebagai sekretaris di salah satu maskapai dagang di kota tersebut. Pada saat itu kota Semarang merupakan pusat organisasi buruh kereta api Vereenigde van Spoor en Tramweg Personnel (VSTP). Pada awalnya Sneevliet di sewa oleh VSTP sebagai propagandis bayaran untuk menyebarkan ajaran yang dianut oleh buruh tersebut. Melalui kesempatan inilah Sneevliet berkenalan dengan massa buruh sekaligus menyebarluaskan doktrin pertentangan kelas yang dianut oleh ideologi komunisme. Sneevliet sadar betul bahwa keterkaitannya dengan VSTP merupakan sebuah peluang besar untuk menumbuhkembangkan ideologi komunisme di Indonesia. Pada bulan Juli 1914 bersama personil-personil yang tergabung dalam VSTP seperti P. Bersgma, J.A. Brandstedder, W.H. Dekker (pada saat itu menjabat sebagai sekertaris VSTP) mempelopori berdirinya organisasi politik yang bersifat radikal, Indische Sosial Democratische Vereeniging (ISDV) atau Serikat Sosial Demokrat India.
ISDV kemudian menerbitkan surat kabar Het Vrije Woord (suara kebebasan) sebagai media propaganda untuk menyebarkan ajaran ajaran komunisme yang menjadi ideologi dari organisasi tersebut. Oleh karena anggota ISDV terbatas dikalangan orang-orang Belanda, maka organisasi ini belum bisa mempengaruhi organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam (SI). Usaha ISDV untuk mendatkan simpati rakyat tidak berhasil, karena rakyat ISDV masih menjadi sebuah kesatuan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sneevliet dan kawan-kawan sadar betul bahwa untuk mendapatkan simpati rakyat, ISDV harus mampu berbaur bersama orang-orang pribumi dan mendekatkan diri dengan kekuatan/pergerakan nasional yang sudah ada sebelumnya. Melalui organisasi buruh yang ada di Semarang, ISDV melakukan pendekatan dengan Sarekat Islam yang pada saat itu di pimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto. Sneevliet kemudian memanfaatkan watak anti kolonialisme dan kapitalisme yang dianut dalam SI untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah revolusi Rusia meletus pada tahun 1917 dan dimenangkan oleh kekuatan komunis, watak gerakan ISDV pun semakin radikal dan tak henti-hentinya untuk menyeberluaskan ajaran komunismenya. Para pemimpin ISDV semakin gencar untuk terus melakukan pendekatan diri terhadap para pemimpin SI di Semarang. Disamping itu, Sneevliet dan kawan-kawan juga melakukan propaganda sampai ke lingkungan angkatan perang. Sneevliet terus melakukan ceramah-ceramah politik yang tujuannya adalah menanamkan benih-benih komunisme di lingkungan tersebut. Kegiatan Sneevliet ini sepenuhnya dibantu oleh Branstedder dan van Burink. Atas kerjasama bersama rekan rekannya Sneevliet akhirnya berhasil menggagasi terbentuknya Raad van Matrozen en Mariniers (Dewan Kelasi dan Marinir), suatu organisasi dilingkungan militer yang bersifat radikal revolusioner. Gebrakan yang dilakukan Sneevliet pun diperkuat dengan di terbitkannya koran Soldaten en Mattrozekrant (koran serdadu dan kelasi) dalam lingkungan militer. Isi koran ini selalu diwarnai dengan ide-ide komunisme yang mengedepankan ide-ide perjuangan kelas. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Sneevliet ternyata tercium oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pada bulan Desember 1918 Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan untuk mengusir Sneevliet dari Hindia Belanda karena kegiatan yang dilakukannya dianggap mulai mengancam. Pada bulan Desember 1919 rekan Sneevliet Brandstedder juga mengalami hal yang sama diusir oleh pemerintah Hindia Belanda. Sekalipun Sneevliet dan Brandstedder telah meninggalkan Hindia Belanda (Indonesia) namun usaha yang mereka lakukan selama ini telah membuahkan hasil. ISDV akhirnya berhasil menyebarkan ajaran-ajaran komunisme di Semarang dan mempengaruhi pimpinan SI Semarang yang pada saat itu dipimpin oleh Semaun dan Darsono.
Setelah mendapatkan dukungan penuh dari SI Semarang, ISDV menjadi semakin kuat dan ajaran komunisme semakin dikenal oleh masyarakat. Pada tanggal 23 Mei 1920, tepatnya di gedung SI Semarang, ISDV sepakat mengganti namanya menjadi Perserikatan Komunis di Indie (PKI). Perubahan nama ini diperuntukan supaya organisasi ini lebih tegas dalam mengedepankan nama komunisme sebagai ideologi dari organisasi mereka selama ini. Semaun dipilih sebagai ketua dan Darsono sebagai wakilnya. Beberapa tokoh ISDV yang orang belanda diangkat sebagai pendamping antara lain Bergsma sebagai sekertaris, Dekker sebagai bendahara dan A. Barrs sebagai salah satu anggotanya. Sekalipun Semaun dan Darsono telah menjadi pimpinan PKI, namun mereka tetap menjadi pimpinan SI Semarang. Hal ini disebabkan karena pada saat itu CSI (Central Sarekat Islam) masih memperbolehkan anggotanya untuk menjadi anggota dari organisasi lain.
Diperbolehkannya keanggotaan ganda pada tubuh SI dilihat sebagai kesempaatan besar bagi PKI untuk menyusup ke organisasi tersebut yang kemudian bertujuan umtuk memecahnya. Hal ini dilakukan karena PKI menyadari bahwa pada saat itu SI merupakan sebuah organisasi pergerakan nasional yang besar dan kuat. Sehingga timbul keinginan diantara pimpian PKI untuk menguasainya. Gebrakan-gebrakan yang dilakukan PKI dalam tubuh SI terang saja membuat pimpinan CSI menjadi berang. CSI melihat bahwa tindakan tindakan yan dilakukan oleh PKI telah mengarah kepada sebuah ancaman keutuhan didalam tubuh SI sendiri. CSI kemudian menyadari bahwa yang menjadi penyebab pengaruh PKI begitu kuat dalam tubuh SI adalah karena SI memperbolehkan sistem keanggotaan rangkap, sehingga menjadi sangat mudah untuk disusupi oleh orang-orang yang bersal dari organisasi lain.
Pada bulan Oktober 1921 dilaksanakan kongres SI yang ke VI di Surabaya. Pada saat itu terjadi suasana panas mewarnai jalannya kongres karena adanya perdebatan yang terjadi diantara fraksi komunis yang diwakili oleh Darsono dan Tan Malaka dengan pimpinan SI pada saat itu Haji Agus Salim. Pada kongres tersebut kemudian diputuskan bahwa dilarangnya keanggotaan rangkap. Artinya anggota SI tidak lagi boleh menjadi anggota dari organisasi lain, jadi bagi anggota yang selama ini merangkap sebagai anggota dari organisasi lain harus memilih antara SI atau organisasi lainnya tersebut. Keputusan ini sontak mendapat perlawanan dari faksi komunis karena hal tersebut akan sangat merugikan bagi mereka bahwa keluar dai SI merupakan sesuatu yang akan sangat merugikan bagi kekuatan PKI, maka Semaun selaku ketua PKI dan SI Semarang pada saat itu menolak keputusan kongres dan justru menghimpun kekuatan didalam tubuh SI. Semaun kemudian melakukan propaganda dalam tubuh SI dan mengatakan bahwa apa yang telah diputuskan dalam kongres merupakan sebuah sesuatu yang keliru dan oleh sebab itu harus di tinjau kembali keputusannya. Namun, pimpinan SI pada sat itu tetap bersikeras pada apa yang telah diputuskan dalam kongres. Dengan keputusan tersebut maka anggota-anggota SI yang tidak mau keluar dari PKI dikeluarkan dari tubuh SI. Sekalipun keputusan ini akan mengurangi jumlah anggota, namun pimpinan SI tetap menganggap bahwa keputusan ini merupakan hal terbaik yang harus dilakukan.
Semaun dan para anggota SI yang juga merupakan PKI tidak tinggal diam dengan keputusan ini. Mereka tetap tidak mau menerima hasil kongres dan tidak keluar dari SI. Mereka kemudian membentuk SI tandingan yang di sebut sebagai SI Merah, sedangkan SI yang menerima hasil kongres tersebut dinamakan sebagai SI Putih. SI tandingan ini tidak hanya terjadi ditingkat pusat, melainkan juga samapi ke cabang di daerah-daerah. Pada kongres PKI II di Bandung Maret 1923 dirumuskan secara jelas bahwa mereka menentang secara terang-terangan SI sebagai kekuatan politik, dan mengubah SI merah menjadi Sarekat Rakyat (SR) sebagai organisasi yang berada dibawah PKI. Pemerintah Hindia Belanda melihat bahwa kekuatan komunis sudah mulai berkembang dan semakin menyebabkan ancaman karena aksi yang dilakukan anggotanya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengusir tokoh-tokoh komunis seperti Muso, Alimin, Darsono dan Semaun. Tokoh-tokoh ini menyebar ke Asia hingga Eropa. Namun tidak lama kemudian pada akhir tahun 1923 tokoh-tokoh komunis tersebut kembali ke Hindia Belanda.
Ternyata kepergian mereka meninggalkan Hindia Belanda telah mengakibatkannya kelemahan dalam kepemimpinan Perserikatan Komunis di Hindia Belanda. Untuk kembali membangkitkan kekuatan komunis tersebut, Semaun dan Darsono mencoba untuk menghimpun kembali kekuatan dengan melakukan kongres pada Juni 1924 di Jakarta. Pada saat itulah nama Partai Komunis Indonesia (PKI) resmi di gunakan. Kongres tersebut juga memutuskan untuk memindahkan markas besar PKI dari Semarang ke Batavia (sekarang Jakarta) dan memilih pimpinan baru yaitu Alimin, Musso, Aliarcham, Sardjono dan Winanta. Dalam kongres tersebut juga diputuskan untuk membentuk cabang cabang di Padang, Semarang, dan Surabaya.
Komunisme ternyata telah berhasil memecah bela SI kedalam dua bagian. Bagian pertama adalah mereka yang mempunyai pandangan komunis dalam tubuh SI dan bagian yang kedua adalah mereka yang menentang ajaran komunisme dalam tubuh SI. Sekalipun akibat ulah dari komunisme SI mengalami penurunan dalam jumlah anggotanya, tapi bagi pimpinan SI hal ini harus dilakukan untuk menyelamatkan SI itu sendiri. Atas peristiwa tersebut SI dan PKI pun menjadi dua kekuaan politik yang berdiri sendiri dan saling melakukan persaingan dalam mendapatkan simpati/dukungan dari rakyat.