LIBERALISME
A.
Konsep Liberalisme
Liberalisme berasal dari kata liberal yang
bermakna bebas dari batasan, bebas berpikir, leluasa dan sebagainya.
Liberalisme dapat diartikan pula sebagai paham kebebasan, yaitu paham yang
menghendaki adanya kebebasan individu, sebagai titik tolak dan sekaligus tolok
ukur dalam interaksi sosial. Liberalisme
adalah suatu paham yang menghendaki adanya suatu kebebasan individu dalam
segala bidang, baik di bidang politik,
ekonomi maupun agama. Menurut paham ini titik pusat dalam kehidupan ini adalah
individu. Karena ada individu, maka masyarakat dapat tersusun, karena ada
individu pula maka negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara
harus melindungi kebebasan dan kemerdekaan individu. Tiap-tiap individu harus
memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam
bidang politik, ekonomi maupun agama (Leo Agung, 2002 : 11).
Ada tiga hal
yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak
Milik (Life, Liberty and Property). Nilai-nilai pokok yang bersumber dari
tiga nilai dasar liberalisme:
1. Percaya
bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta (Trust in God as a Creator) . Semua manusia
diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Tuhan hak-hak tertentu yang
tidak dapat dipisahkan dari padanya.
2. Kesempatan
yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia
mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik,
sosial, ekonomi dan kebudayaan.
3. Dengan
adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak
yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan
persetujuan, dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu
( Treat the Others Reason Equally).
4. Pemerintah
harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh
bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak
rakyat
(Government by the Consent of The People or The Governed).
5. Berjalannya
hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada
rakyat. Terhadap hak asasi
manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat
oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk
menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi
(Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
6. Yang
menjadi pemusatan kepentingan adalah individu (The
Emphasis of Individual).
7. Negara
hanyalah alat (The State is Instrument).
Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan
yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.
8. Dalam
liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism). Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat
dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu
didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
B. Sejarah perkembangan Liberalisme
Embrio perjuangan kaum liberalism
yang menentang setiap tindakan yang dianggap menekan kebebasan individu
sebenarnya telah ada di Inggris. Kebebasan individu akhirnya dijamin dengan
dikeluarkannya Magna Charta tahun 1215. Isi piagam ini antara lain bawa
seseorang (kecuali budak) tidak boleh ditangkap, dipenjara, disiksa,
diasingkan, dan disita hak miliknya tanpa cukup alas an menurut hukum.
Dua peristiwa penting yang menjadi dasar lahirnya
paham liberalism ialah :
a.
Declaration
of Independence. Ke – 13 koloni Inggris di Amerika
Utara berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan Inggris dan
menghasilkan “Declaration of
Independence” yang menyatakan “bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa
Tuhan telah menganugerahi beberapa hak yang tidak dapat dipisahkan daripadanya,
diantaranya hak hidup, kebebasan – kemerdekaan, dan hak untuk mencapai
kebahagiaan’’ (life, liberty, and pursuit
of happiness)
b. Buku
Wealth of Nations karya Adam Smith yang isisnya mengenai gagasan – gagasan
pokok yang menjadi dasar bagi kaum liberal di bidang ekonomi yang lazim
ddirumuskan dengan “laisser faire laisser
passer” (produksi bebas , perdagangan bebas)
Pertumbuhan dan
perkembangan perjuangan kaum liberal semakin nyata dengan munculnya golongan
borjuis di Perancis pada abad ke – 18 yang menyuarakan liberalisme sebagai aksi
protes terhadap kepincangan yang ada di Perancis selama itu. Golongan Borjuis
berhasil mendekati rakyat untuk menentang kekuasaan raja yang absolute guna
mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan dalam bidang politik, ekonomi dan agama.
Gerakan ini diilhami oleh buah karya ahli pikir seperti Montesquieu dan J.J.
Rousseeau. Gerakan Liberalisme ini akhirnya meningkat menjadi gerakan politik
dengan meletusnya revolusi Prancis tahun 1789. Satu naskah penting dalam bidang
politik yang dihasilkan di waktu revolusi Prancis adalah lazim disebut “La
Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (pernyataan hak – hak asasi
manusia dan warga Negara ) dikumandangkan pada 27 Agustus 1791. Isinya antara
lain sebagai berikut :
1) Persamaan
dalam lapangan politik dan sosial bagi semua warga Negara
2) Penghormatan
akan hak milik
3) Kedaulatan
bangsa dan Negara
4) Kemungkinan bagi semua warga Negara untuk memegang
jabatan – jabatan umum
5) Penghormatan
akan pendirian, kepercayaan dan agama
6)
Kemerdekaan berbicara dan pers.
Selanjutnya lewat kekuasaan
Napoleon Bonaparte, paham liberalisme ini disebarluaskan ke seluruh Eropa dan
kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan semboyan “liberte, egalite, dan
fraternite” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Jadi revolusi Prancis
sebenarnya revolusi golongan borjuis yang menuntut adanya kebebasan dan
kemerdekaan dan mereka itu kemudian disebut golongan liberal.
Praktek
liberalisme dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari bidang politik,
ekonomi, dan agama.
1. Dalam bidang Politik
Terbentuknya suatu Negara merupakan
kehendak dari individu-individu. Oleh karena itu, yang berhak mengatur dan
menetukan adalah individu-individu tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan negara
yang tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Hal
inilah yang kemudian melahirkan Negara demokrasi. Agar supaya kebebasan dan
kemerdekaan individu tetap dihormati dan dijamin, maka harus disusun, dibentuk
Undang-Undang Hukum parlemen dan sebagainya. Demokrasi yang dikehendaki oleh
golongan liberal adalah yang kemudian dikenal dengan nama Demokrasi Liberal
seperti yang dianut oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
2. Dalam Bidang ekonomi
Liberalisme dalam bidang ekonomi menghendaki
adanya sistem ekonomi yang bebas. Setiap individu, setiap orang harus memiliki
kebebasan dan kemerdekaan untuk berusaha, memilih pekerjaan yang disukai,
mengumpulkan harta dan sebagainya. Pemerintah tidak boleh mencampuri dalam
kehidupan ekonomi, karena masalah itu adalah masalah individu. Semboyan kaum
liberal yang terkenal di bidang ekonomi ialah “laisserfaire, laisser passer I”
emonde va de lui-meme (produksi bebas, perdagangan bebas dunia akan berjalan
sendiri). Hal ini diilhami oleh buku Wealth of Nations karya Adam Smith
3. Dalam Bidang agama
Liberalisme menganggap masalah agama adalah
masalah individu, maka tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan dan
kemerdekaan untuk memilih agama yang disukainya. Pemerintah tidak boleh ikut campur
tangan dalam masalah agama. Liberalisme di bidang agama menghendaki adanya
kebebasan untuk memilih agama yang disukainya dan bebas beribadah menurut agama
yang dianutnya (Leo Agung : 2002 : 13-14).
Adapun keuntungan (pro) dari sistem ekonomi
liberal, yaitu sebagai berikut.
1.
Menumbuhkan
inisiatif dan kreasi masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi karena
masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah/komando dari pemerintah.
2.
Setiap
individu bebas memiliki sumber-sumber daya produksi yang nantinya akan
mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
3.
Timbul
persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
4.
Menghasilkan
barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat
antarmasyarakat.
C. Liberalisme di Indonesia
Liberalisme
masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh
pemerintah Hindia Belanda. Masa
antara tahun-tahun 1870 dan 1900 di Indonesia pada umumnya disebut zaman
Liberalisme. Pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah colonial di
Indonesia kepada usaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk
menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia khususnya
perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Meluasnya pengaruh
ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia zaman liberal tidak saja terbatas pada
penanaman tanaman perdagangan di perkebunan besar tetapi juga meliputi import
barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri-industri yang sedang
berkembang di negeri Belanda.
Penghapusan
tanam paksa menyebabkan munculnya sistem ekonomi liberal, dimana Indonesia
dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal mereka. Pada masa Liberalisme,
komersialisme terhadap bangsa Indonesia tampak dengan:
1)
Indonesia dijadikan tempat untuk mencari bahan mentah untuk kepentingan
Industri orang-orang Eropa
2)
Indonesia dijadikan sebagai tempat
untuk menanamkan modal bagi para pengusaha swasta asing. Dengan cara menyewa
tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan-perkebuan besar.
3)
Indonesia juga dijadikan sebagai tempat untuk memasarkan hasil-hasil Industri
Eropa.
Pada masa Liberalisme ini pula
merupakan awal munculnya industrialisasi di Indonesia. Munculnya
Industrialisasi ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria (Agrarische
Wet) tahun 1870, yang memberikan peluang bagi pengusaha asing (pengusaha
dari Inggris, Belgia, Perancis, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang) untuk
menyewa tanah dari rakyat Indonesia tetapi tidak boleh menjualnya. Mereka mulai
datang ke Indonesia untuk menanamkan modal dan untuk memperoleh keuntungan yang
besar.
Tanah penduduk
Indonesia yang awalnya merupakan milik pribadi tersebut harus disewa untuk
jangka waktu tertentu (25 tahun untuk tanah pertanian, 75 tahun untuk tanah
ladang) oleh para pemilik modal swasta asing. Penduduk hanya mendapatkan uang
sebagai uang sewa tanah tersebut. Tanah yang disewa kemudian dijadikan
`perkebunan-perkebunan besar yang dilengkapi dengan pabrik-pabrik untuk
mengolah hasil perkebunan tersebut. Perkebunan-perkebunan tersebut diantaranya
Perkebunan Kopi, Teh, Gula, Kina dan Tembakau.
Terbukanya Indonesia bagi swasta
asing berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia
seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli,
perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang.
Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang
pertambangan batu bara di Umbilin. Menurut Swanto, dkk. (1997) pengaruh gerakan
liberal terhadap Indonesia secara umum adalah :
1). Tanam paksa dihapus.
2). Modal swasta asing mulai ditanamkan di Indonesia.
3). Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya
uang.
4). Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor.
5). Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan
prasarana.
6). Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang
penting
D. Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Zaman
Liberalisme
Perkebunan-perkebunan gula, kopi, tembakau
dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya mengalami perkembangan yang paling
pesat antar tahun 1870 dan 1885. Selama masa ini para
pengusaha-perkebunan-perkebuann memperoleh keuntungan-keuntungan yang besar
sekali dari penjualan tanaman dagang ini di pasaran dunia. Untuk sebagian besar
perkembangna pesat ini disebabkan oleh pembukaan terusan Suez dalam tahun 1869
yang sangat mengurangi jarak antra Negara penghasil tanaman dagang dan
pasaran-pasaran dunia yang terpenting di dunia.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman
dagang mulai berjalan agak seret yang disebabkan oleh jatuhnya harga-harga koli
dan gula di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau di pasaran dunia
juga jatuh dengan pesat sehingga membahayakan kelangsungan hidup
perkebunan-perkebunan. Jatuhnya harga.
Kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi penanam modal asing dijamin
oleh pemerintah colonial, seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Hal
itu dapat dilihat dari isi Undang-Undang agrarian tahun 1870, suatu peraturan
yang umumnya dianggap sebagai dimulainya politik colonial liberal di hindia
Belanda. Peraturan tersebut pada pokoknya berisi dua hal, yaitu pengambilalihan
tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang asing boleh menyewa tanah
untuk perkebunan. Tidak mengherankan bahwa sesudah tahun 1870 modal asing
semakin meningkat mengalir ke Jawa secara intensif.
Pada tahun 1882 pajak kepala diadakan
dengan maksud untuk menggantikan wajib kerja. Jumlah per kepala dipungut dari
semua warga desa yang kena wajib kerja. Pada tahun ini juga dihapuskan pancen
diensten, yang terdiri atas 15 jenis, kecuali kerja wajib untuk perbaikan
jalan, dam, tanggul dan saluran air. Dalam politik liberal penetrasi usaha
kapitalis berpenetrasi sampai ke individu. Konversi tanah yang dikuasai
perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan perkebunan berarti tanah masuk
obyek komersialisasi. Perkembangan selanjutnya sebagian ditentukan oleh
factor-faktor modernisasi lain, seperti komunikasi, birokrasi, adukasi dan
industrialisasi pertanian.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih
baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua
pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah.
Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak langsung melelui
pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta.
Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu,
para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan
yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena
sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat
diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu
terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun
pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak
pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh,
dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal
lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan
masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki
liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah
jajahan untuk memperoleh uang.
KAPITALISME
Kapitalisme berasal
dari capital yang berarti modal, yang
dimaksud modal adalah alat produksi seperti tanah, uang dan sebagainya. Kata isme berarti suatu paham atau ajaran.
Jadi arti kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi yg modalnya bersumber
pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan di pasar
bebas. Adapun pengertian menurut G.G.
Wells, “Kapitalisme adalah suatu yang tidak dapat didefinisikan, tapi pada
umumnya kita menyebut sebagai sistem kapitalis, sesuatu yang kompleks kebiasaan
tradisional, energi perolehan yang tak terkendalikan dan kesempatan jahat serta
pemborosan hidup”.
Secara umum, teori kapitalis bercirikan individu yang
menjadi pemilik bagi apa yang dihasilkannya, orang lain tidak punya hak. Ia
berhak untuk memonopoli semua alat produk yang dapat dicapainya dengan usahanya
sendiri, berhak untuk tidak mengeluarkannya, kecuali dengan jalan yang memberi
keuntungan padanya. Teori tersebut bertitik tolak pada egoisme, yang hanya
cinta pada diri sendiri. Suatu hal yang pasti terjadi dalam sistem kapitalis
adalah lahirnya kecenderungan yang keras dikalangan masyarakat untuk
mengumpulkan kekayaan dan tidak mengeluarkannya kecuali pada jalan yang
mendatangkan keuntungan besar bagi dirinya.
Masyarakat kapitalis praktis menjadi dua kelas yakni kelas
hartawan dan miskin. Kelas hartawan menguasai sumber-sumber kekayaan dan
bertindak sekehendak hatinya, serta tidak mempergunakannya kecuali untuk
kepentingan pribadinya. Sehingga kepentingan masyarakat dikorbankan demi untuk
menambah kekayaan. Maka orang-orang miskin tidak lagi punya kesempatan untuk
memperoleh sumber-sumber kekayaan kecuali hanya untuk memperoleh kebutuhannya,
demi kelanjutan hidup.
Adapun
bentuk-bentuk kapitalisme yaitu:
a)
Kapitalisme
perdagangan, muncul pada
abad ke-16 setelah dihapusnya sistem feodal. Dalam sistem ini seorang pengusaha
mengangkat hasil produksinya dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kebutuhan
pasar. Dengan demikiankapitalisme
perdagangan berfungsi
sebagai perantara antara produsen dan konsumsi.
b)
Kapitalisme
industry, lahir karena
ditopang oleh kemajuan industri dengan penemuan mesin uap oleh James Watt tahun
1765 dan mesin tenun tahun 1733. Semua itu telah membangkitkan revolusi
industri di Inggris dan Eropa menjelang abad ke-19. Kapitalisme industri ini
tegak di atas dasar pemisahan antara modal dan buruh yakni antara manusia dan
mesin.
c)
Sistem
Kartel, yakni kesepakatan
perusahaan-perusahaan besar dalam membagi pasaran internasional. Sistem ini
memberi kesempatan untuk memonopoli pasar dan pemerasan seluas-luasnya. Aliran
ini tersebar di Jerman dan Jepang.
d)
Sistem
Trust, sebuah sistem
yang membentuk satu perusahaan dari berbagai perusahaan yang bersaing agar
perusahaan tersebut lebih mampu berproduksi dan lebih kuat untuk mengontrol dan
menguasai pasar.
Dudly Dillard, secara kronologis
membagi sejarah muncul dan perkembangan kapitalisme, terutama kapitalisme
industrial, menjadi tiga fase perkembangan, yakni kapitalisme fase awal (
1500-1750), kapitalisme fase klasik ( 1750-1914) dan kapitalisme fase lanjut
(1914-1945).
Pertama, kapitalisme awal atau kapitalisme merkantilismes
(1500-1750), yaitu kapitalisme yang bertumpu pada industri sandang di Inggris.
Kapitalisme pada masa ini masih sangat sederhana, yaitu ditandai dengan praktek
pemintalan benang yang masih mengunakan masinal (mechine) sederhana. Sementara
kebutuhan produksi disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pada abad XVI
industri sandang dibeberapa pedesaan di Inggris mengalami perkembangan produksi
yang sangat pesat. Pemasukan keuangan negara yang pada awalnya hanya berasal
dari pajak rakyat mulai bertambah dengan pendayagunaan surplus sosial (semacam
tabungan sosial dari beberapa pabrik sandang).
Kedua, adalah kapitalisme fase klasik
(1750-1914). Fase ini ditandai dengan bergesernya sistem pembangunan
kapitalisme dari sistem perdagangan (merkantilisme) ke sistem industri,
tepatnya ketika terjadi revolusi industri di Inggris yang kemudian menjadikan
masa ini sebagai masa transisi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi
modal industri. Perubahan sistem ini dilatarbelakangi oleh perkembangan baru
dalam keilmuan manajemen-organisasi dan penemuan-penemuan baru dalam bidang
teknologi. Dalam bidang pemikiran, pada saat yang sama muncul seorang ekonom
Inggris, Adam Smith dengan karyanya Inquiry
into the nature and causes of the wealth nations (1776). Dalam buku
tersebut, Adam Smith menawarkan satu sistem ekonomi yang akan membawa
kesejahteraan masyarakat Eropa saat itu yakni sistem ekonomi liberal. Doktrin
utama dari sistem ini adalah menyerahkan semua keputusan-keputusan ekonomi
kepada pasar dengan membongkar atau bahkan menghilangkan peran negara
sedikitpun. Begitulah kapitalisme liberal terus berjalan sampai mengalami
berbagai pertentangan internal (anomali) antar negara kapitalis itu sendiri
yang kemudian mengakibatkan meletusnya perang dunia I pada tahun 1914-1918
antara kekuatan negara kapitalis baru (Jerman, Jepang dan Perancis) dengan
negara bos kapitalis Inggris. Akibat dari Perang Dunia I tersebut adalah
perubahan besar mengenai pembagian koloni-koloni tanah jajahan yang
menguntungkan negara yang menang perang.
Ketiga, fase kapitalisme lanjut
(1914-1945). Fase ini ditandai dengan peristiwa bergesernya dominasi modal dari
belahan dunia Eropa ke negara adidaya baru Amerika Serikat yang
dilatarbelakangi oleh hancurnya sistem ekonomi Eropa akibat perang yang
berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya krisis besar-besaran dihampir
negara kapitalis Eropa, terutama Inggris yang pada awalnya sebagai negara
kapitalis Eropa terkaya. Selain itu ada tiga momentum besar di dunia
internasional saat itu, yakni terjadinya perang dunia pertama, munculnya
perlawanan dari dunia terjajah (Asia-Afrika) terhadap praktik imperialisme
kolonialisme yang telah berjalan cukup lama, dan suksesnya revolusi Bolsevik
1917 di Rusia yang menghancurkan sistem feodalisme kaesar Tsar saat itu. Dari
ketiga momentum inilah beberapa negara kapitalis Eropa dan Amerika mengalami great depression atau depresi ekonomi
dunia besar-besaran.
Dari kejadian itulah dunia mengalami
resesi ekonomi. Dari peristiwa diatas, negara-negara kapitalis saat itu mulai
merubah kebijakan ekonominya dari sistem liberalis yang tidak memberikan ruang
jaminan sosial sedikitpun kepada masyarakat pada sistem ekonomi negara
kesejahteraan (walfare state). Wacana dan praktek sistem walfare state hanya berjalan sampai pada dekade 1970-an akhir awal
1980-an ketika kapitalisme internasional mengalami resesi ekonomi dunia kedua
kalinya. Munculnya aliran Kapitalisme Neo-Liberal atau kanan baru
(1979-sekarang) merupakan tawaran solusi dari sistem walfare state. Adalah Friedrich Van Hayek, seorang profesor di
Universitas Chicago sejak 1940-an, yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya
Milton Friedman. Menawarkan solusi kembali pada sistem ekonomi neo-klasik. Dari
sinilah embrio dari neo liberalism. Wacana neo-liberal dalam sistem ekonomi
kapitalisme pada masa ini menyebar dengan cepat yang kemudian lebih dikenal
dengan istilah kanan baru.
Di Eropa aliran di atas,
diimplementasikan untuk pertama kalinya oleh PM. Margaret Thatcher tahun 1979.
Kebijakan pertama yang diambil setelah menduduki posisi PM Inggris adalah
penghapusan kewajiban negara untuk memikul tanggung jawab terhadap rakyatnya
yang berupa subsidi negara terhadap rakyat dan memangkas secara radikal
subsidi-subsidi sosial. Sebagai gantinya pemerintah lebih mementingkan pelayanan
terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program privatisasi
swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap penyiaran,
telekomunikasi, transportasi, dan menghentikan seluruh serikat buruh.
Di Amerika, pada saat yang sama kaum
republiken memenangkan pemilunya yang kemudian menaikkan Ronald Reagen sebagai
Presiden AS menggantikan Jimmy Carter. pada saat inilah pengadopsian
neo-liberalisme di Amerika sebagai sistem ekonomi mulai diterapkan. Rezim ini
sangat meyakini teori trickle down effect
yang mengklaim bahwa si kaya mendapatkan insentif seperti membayar pajak
murah/rendah, maka mereka akan lebih giat dalam berwirawasta dan pada
gilirannya mereka akan banyak menciptakan pertumbuhan peluang dan lowongan
kerja. Sederhanya, jika industri diserahkan ke swasta maka akan lebih efisien
dan menekan pengeluaran pemerintah untuk pembayaran tunjangan sosial.
Dari awal masa perkembangannya,
kapitalisme memiliki identifikasi yang khas:
1. Sistem ekonomi kapitalisme
mentasbihkan kebebasan individu untuk melihat alat-alat produksi dan modal,
bukan oleh negara atau yang disebut dengan hak individu (individual ownership).
2. Ekonomi pasar (market economy)
pereknomian pasar berdasar pada prinsip spesialisasi kerja dan hal itu tidak
diatur oleh siapapun kecuali kondisi pasar itu sendiri.
3. Persaingan (competition) sebagai
konsekuensi logis dari berkembangnya ekonomi pasar.
4. Keuntungan (profit) prinsip
keuntungan.
Kapitalisme awalnya tumbuh dan berasal dari Amerika Utara dan
Eropa. Menurut Tan Malaka (2008: 45), sistem kapitalisme di Indonesia masih
muda atau masih prematur karena negara Indonesia baru menggunakan mesin untuk
proses industri seperempat abad belakangan ini. Susunan kapital Indonesia yang
prematur ini dikarenakan penjajah yang terlalu lama mengeksploitasi sumber daya
alam Indonesia, sehingga orang Indonesia belum dapat menggunakan sumber daya
alamnya dengan maksimal. Terdapat beberapa faktor internal yang juga
memengaruhi prematurnya sistem kapitalisme di Indonesia. Faktor perbedaan
bentang alam Indonesia, misalnya. Pulau Jawa memiliki lebih banyak lahan
pertanian dan Pulau Sumatera memiliki lebih banyak lahan yang mengandung sumber
daya alam, seperti besi dan minyak tanah. Dengan demikian, mesin perindustrian
modern yang kini lebih berkembang di Pulau Jawa, sesungguhnya lebih tepat jika
digunakan untuk mengembangkan Pulau Sumatera. Selain itu, sistem kapitalis
menyebabkan perpindahan penduduk. Penduduk yang tadinya berada di desa
berpindah ke kota karena tingginya tingkat kebutuhan tenaga kerja di kota-kota
besar. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kapitalisme di Indonesia tidak merata.
Susunan kapitalisme Indonesia selanjutnya terus berkembang, namun tidak secara
alami (Malaka, 2008: 48). Berbeda dengan Amerika Utara dan Eropa yang kapitalismenya
muncul dan berkembang secara alami, perkembangan kapitalisme di Indonesia
disebabkan oleh pengaruh penjajah asing yang mengeksploitasi kekayaan Indonesia
untuk memuaskan kepentingan pihak asing tersebut. Hal ini menghasilkan kemajuan
ekonomi Indonesia yang tidak teratur. Sampai saat ini, Indonesia belum dapat
menghasilkan barang-barang untuk penduduknya sendiri maupun untuk perdagangan
luar negeri. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga, serta bahan-bahan
produksi yang dipakai oleh rakyat Indonesia mayoritas tidak dibuat sendiri
(Malaka, 2008: 49).
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dengan rezimnya
menerapkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pembangunan nasional dan
kesejahteraan ekonomi. Dalam praktiknya, rezim Soeharto membuat kapitalisme di
Indonesia semakin kuat. Pembangunan besar-besaran membuat para investor asing
tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tatanan Orde Baru di bawah
pimpinan Presiden Soeharto mencerminkan suatu bentuk pemerintahan oligarki yang
menempatkan golongan-golongan dengan power
yang kuat atau penguasa sebagai pengambil keuntungan untuk memenuhi
kepentingannya (Robinson & Hadiz, 2004: 42-3). Dalam KTT APEC di Bogor
tahun 1994, Presiden Soeharto menyatakan bahwa siap atau tidak siap, Indonesia
akan memasuki perdagangan bebas. Momentum inilah yang menjadi cikal bakal
perdagangan bebas di Indonesia hingga kini. Para investor asing yang membanjiri
pasar usaha Indonesia semakin mendesak para investor pribumi. Persaingan serta
sistem pemerintahan oligarki menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi dan
inflasi di tahun 1997-1998, hingga akhirnya Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya (Pusat Penelitian Politik, 2009), meninggalkan jejak-jejak
kapitalisme di Indonesia.
IMPERIALISME
Imperialisme berasal dari kata Latin
"imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk
memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang
diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang
lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja
disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya
berlaku) disebut imperium. Imperialisme ialah politik untuk menguasai
(dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk
sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti
merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur/budaya, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium
disini tidak perlu berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi dapat
berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.
Menurut
Lenin dalam “Imperialism the Highest Stage
of Capitalism” (1916), Imperialisme sebagai sebuah sistem
ekonomi-politik. Pemahaman ini sebagai dasar bagi sebuah upaya untuk memahami
imperialisme secara keseluruhan. Ciri pertama dan terpenting dari
Imperialisme adalah "konsentrasi kekuatan produktif". Ciri kedua adalah
"oligarki kapital". Imperialisme merupakan sebuah definisi yang akan
mengikutsertakan lima fitur utama seperti berikut ini: (1) Konsentrasi produksi
dan kapital telah berkembang ke sebuah tahapan yang begitu tinggi sehingga
menciptakan monopoli-monopoli yang memainkan sebuah peran menentukan di dalam
kehidupan ekonomi; (2) Merger antara
kapital perbankan dan kapital industrial, dan pembentukan, berdasarkan “kapital
finansial” ini, sebuah oligarki finansial; (3) Ekspor kapital, yang berbeda
dari ekspor komoditas, menjadi jauh lebih penting; (4) Pembentukan asosiasi-asosiasi monopoli
kapitalis internasional yang membagi dunia di antara diri mereka sendiri, dan
(5) pembagian teritorial dari seluruh dunia oleh kekuatan-kekuatan kapitalis
terbesar telah selesai. Imperialisme adalah kapitalisme pada tahap perkembangan
dimana dominasi monopoli dan kapital finansial telah menjadi kenyataan, dimana
ekspor kapital telah menjadi sangat penting; dimana pembagian dunia di antara
sindikat-sindikat internasional telah dimulai; dimana pembagian
teritori-teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis terbesar telah
selesai.
Imperialisme dibagi menjadi dua, yaitu:
- Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism). Inti imperialisme kuno adalah semboyan gold, gospel, and glory (kekayaan, penyebaran agama dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal.
- Imperialisme Modern (Modern Imperialism). Inti imperialisme modern ialah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebgai tempat penanaman modal bagi kapital surplus.
Menurut Hobson, seorang penulis Inggris, berjudul Imperialisme
(1902), “Imperialisme yang baru berbeda dengan yang lama; pertama, imperialisme
yang baru menggantikan ambisi sebuah kekaisaran tunggal dengan teori dan
praktek kekaisaran-kekaisaran yang saling bersaing, tiap-tiap dari mereka
termotivasi oleh nafsu kemegahan politik dan laba komersial yang serupa; kedua,
dalam dominasi finansial atau investasi terhadap kepentingan perdagangan”.
Menurut
Morgenthau, Hans J. dalam
bukunya Age of Empire
II (1999), Age of Empires merupakan masa dimana kerajaan-kerajaan besar menguasai dunia seperti Mesopotamia,
Makedonia, Romawi, Mesir, Byzantines, Celts, Persia, Vikings, Turki, India, dan
Cina pada abad 16 sampai abad ke 19. Kerajaan-kerajaan ini pernah menjadi pusat peradaban dunia dengan warisan budaya yang sangat
kaya. Pada masa ini dilakukan ekspedisi pelayaran
serta pengejaran 3G (Glory, Gold and Gospel). Bangsa Eropa
melakukan eksplorasi dan ekspansi sejak abad ke 15 dan 16. Dalam rentang
waktu singkat negara-negara besar mampu menaklukkan negara-negara berkembang
dan akhirnya
mendapatkan koloni
baru.
Teori-teori ekonomi tentang imperialisme
dikembangkan dalam pemikiran Marxis dan Liberal. Teori Marxis tentang imperialisme bertopang
pada keyakinan yang menjadi dasar semua pemikiran marxis, bahwa segenap gejala politis
merupakan refleksi dari kekuatan ekonomis. Gejala politis dari imperialisme
merupakan hasil sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung sumbernya-yakni
kapitalisme. Hal ini merupakan pemikiran V.I.Lenin (1870-1924) “Imperialism the Highest Stage
of Capitalism” (1916). Teori ini
membagi negara menjadi negara core (negara kapitalis yang merupakan kelas borjuis)
dan negara periphery
(negara berkembang yang
merupakan kelas proletar). Eropa muncul sebagai negara core yang mengekspansi negara periphery
pada zaman kekaisaran.
Perang Austria-Prusia
tahun 1866,
dan Perang Perancis-Jerman
tahun 1870 merupakan perang politik imperialistis yang
dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan
pembagian kekuasaan yang baru, pertama untuk keuntungan Prusia di dalam Jerman
dan kemudian untuk keuntungan
Jerman di dalam sistem negara di Eropa. Semua imperialisme pada masa
pra-kapitalis dan masa kapitalis cenderung menggulingkan hubungan kekuasaan
yang sudah terbentuk dan menggantikannya dengan dominasi kekuasaan
imperialistis. Tujuan utama ialah kekuasaan dan bukan keuntungan ekonomis. Imperialisme
sebagai usaha untuk meruntuhkan kekuasaan yang ada, mengandung resiko perang
yang tidak dapat dielakkan lagi.
Imperialisme didorong
oleh beberapa faktor, perang yang berakhir dengan kemenangan bilamana suatu
negara terlibat dalam perang dengan negara lain, mungkin sekali bahwa negara yang
mengharapkan kemenangan akan menempuh politik yang berusaha memperoleh
perubahan tetap dari hubungan kekuasaan dengan musuh yang dikalahkan.
Imperialisme yang dilakukan oleh Jerman dari tahun 1935 sampai akhir perang Dunia
II merupakan dorongan atas kegagalan Perang.
Tujuan imperialisme dapat
berupa penguasaan atau dominasi dunia yang terorganisasi secara politis; yaitu,
imperium dunia (world empire),
imperium kontinental, dan kekuatan yang dilokalisir. Dengan kata lain, politik
imperialistis dapat mempunyai batasan selain yangditentukan oleh kekuatan
perlawanan dari daerah yang merupakan tujuan imperalisme suatu negara, atau
dapat berupa batas yang ditentukan secara geografis, seperti perbatasan
geografis suatu benua, atau dapat diatasi oleh tujuan-tujuan kekuatan
imperialistik yang dilokalisir.
Imperium Dunia terlihat
dalam politik ekspansionis Alexander Agung, Roma, Arab abad ke 7 dan 8,
Napoleon I, dan Hitler. Mereka semua mempunyai dorongan yang sama kearah ekspansi
yang tidak mengenal batas-batas rasional, dan kalau tidak dihentikan oleh
kekuatan yang lebih unggul, akan terus sampai ke batas-batas dunia politik.
Imperium kontinental merupakan imperialisme yang ditentukan secara geografis
dalam politik negara-negara di Eropa untuk memperoleh kekuasaan tertinggi.
Contohnya dapat terlihat saat Continental Louis XIV , Napoleon II dan Wilhelm
II. Kerajaan Piedmont di bawah Cavour yang berusaha menguasai jazirah Italia di tahun 1850-an, Perang
Balkan tahun 1912 dan tahun 1913 yang ingin menguasai Balkan, Mussolini yang
mencoba merebut Laut Tengah untuk Italia- semua ini adalah contoh imperialisme
yang ditentukan secara geografis atas dasar politik continental (Morgenthau,
2010: 74).
Metode
imperialisme telah berubah pada zaman Age of Empires dan era dunia baru di Eropa saat ini. Penggunaan
imperialisme militer yang merupakan imperialisme paling kuno dan paling kasar
telah beralih menjadi imperialisme ekonomi dan imperialisme kebudayaan. Contoh
modern yang terkenal dalam imperialisme ekonomi ialah “diplomasi
dolar” dan “diplomasi minyak”. Imperialisme ekonomi telah memainkan peranan penting dalam
sejarah imperialisme Inggris
dan Perancis. Persaingan dan perdagangan politik Inggris dan Rusia terhadap
Iran merupakan perlombaan imperialisme ekonomi dimana keduanya berusaha
mengendalikan pemerintah Iran yang pada gilirannya menguasai ladang minyak maupun jalur ke India.
Selain
imperialisme ekonomi, imperialisme Eropa di Dunia baru ialah imperialisme kebudayaan.
Imperialisme kebudayaan merupakan soft power yang tujuannya bukan untuk penaklukkan wilayah atau mengendalikan
kehidupan ekonomi, akan tetapi penaklukan dan pengendalian pemikiran manusia
sebagai alat untuk hubungan kekuasaan antara dua negara. Dalam zaman modern,
organisasi agama yang beraliansi atau yang berhubungan erat dengan pemerintah,
memainkan peran penting dalam politik imperialistis yang bersifat kebudayaan. Politik
Rusia di bawah pemerintahan Tsar memakai hubungan ganda Tsar sebagai kepala pemerintahan
dan sebagai kepala Gereja Ortodoks dengan tujuan memperluas kekuasaan Rusia sampai
ke pengikut Ortodoks di negara asing.
Globalisasi
sebagai fenomena abad modern telah mengubah pola imperialisme dengan lebih
memfokuskan pada kerjasama antar Negara maju dan berkembang. Pertumbuhan
kuantitas konsumsi dalam pasar global menyebabkan Eropa melakukan imperialisme
ekonomi yang merupakan soft power imperialism. Tema sentral
imperialisme telah berubah dari zaman kekaisaran seiring perubahan pengetahuan
dan revolusi industri. Walaupun negara tetap membutuhkan sumber daya alam untuk
dieksplorasi, liberalisme merupakan jawabannya. Penanaman paham ideologi serta
nilai-nilai barat di Eropa merupakan imperialisme baru yang merupakan hasil
pembelajaran dari Age of empires yang pernah ada.
NASIONALISME
Secara etimologi, nasionalisme berasal dari kata “nasional” dan
“isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air;
memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa; memiliki
rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air,
sebangsa dan senegara; persatuan dan kesatuan. Nasionalisme dapat juga
diartikan sebagai paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara
(nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok
manusia.
Dari pengertian tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa nasionalisme adalah paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi
individu yang harus diberikankepada negara dan bangsanya, dengan maksud bahwa
individu sebagai warga negara memiliki suatu sikap atau perbuatan untuk
mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi kemajuan, kehormatan dan tegaknya
kedaulatan negara dan bangsa.
Ada 2 (dua) macam arti nasionalisme
1) Nasionalisme
dalam arti sempit: paham kebangsaan yang berlebihan dengan memandang bangsa
sendiri lebih tinggi (unggul) dari bangsa lain. Paham ini disebut dengan istilah
“Chauvinisme”. Chauvinisme pernah dianut di Italia
(masa Bennito Mussolini); Jepang (masa Tenno Haika) dan Jerman (masa Adolf Hitler).
2)
Nasionalisme dalam arti luas : paham
kebangsaan yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan
tanah airnnya dengan memandang bangsanya itu merupakan bagian dari bangsa lain
di dunia. Nasionalisme arti luas mengandung prinsip-prinsip: kebersamaan;
persatuan dan kesatuan; dan demokrasi (demokratis).
Kebanyakan
teori menyebutkan bahwa nasionalisme dan nilai-nilainya berasal dari Eropa.
Sebelum abad ke-17, belum terbentuk satu negara nasional pun di Eropa. Yang ada
pada periode itu adalah kekuasaan kekaisaran-kekaisaran yang meliputi wilayah
yang luas, misalnya kekuasaan kekaisaran Romawi Kuno atau Kekaisaran Jerman di
bawah pimpinan Karolus Agung. Kekuasaan bergandengan tangan dengan gereja
Katolik, sehingga masyarakat menerima dan menaati penguasa yang mereka anggap
sebagai titisan Tuhan di dunia.
Karena
itu, kesadaran akan suatu wilayah (territory) sebagai milik suku atau
etnis tertentu belum terbentuk di Eropa sebelum abad ke-17. Di awal abad ke-17
terjadi perang besar-besaran selama kurang lebih tiga puluh tahun antara suku
bangsa-suku bangsa di Eropa. Misalnya, perang Perancis melawan Spanyol, Perancis
melawan Belanda, Swiss melawan Jerman, dan Spanyol melawan Belanda, dan
sebagainya. Untuk mengakhiri perang ini suku bangsa yang terlibat dalam perang
akhirnya sepakat untuk duduk bersama dalam sebuah perjanjian yang diadakan di
kota Westphalia di sebelah barat daya Jerman. Pada tahun 1648 disepakati
Perjanjian Westphalia yang mengatur pembagian teritori dan daerah-daerah
kekuasaan negara-negara Eropa yang umumnya masih dipertahankan sampai sekarang.
Meskipun
demikian, negara-bangsa (nation-states) baru lahir pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19. Negara bangsa adalah negara-negara yang lahir karena
semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme yang pertama muncul di Eropa
adalah nasionalisme romantis (romantic nationalism) yang kemudian
dipercepat oleh munculnya revolusi Perancis dan penaklukan daerah-daerah selama
era Napoleon Bonaparte. Beberapa gerakan nasionalisme pada waktu ini bersifat
separatis, karena kesadaran nasionalisme mendorong gerakan untuk melepaskan
diri dari kekaisaran atau kerajaan tertentu. Misalnya, setelah kejatuhan
Napoleon Bonaparte, Kongres Wina (1814–1815) memutuskan bahwa Belgia yang
sebelumnya dikuasai Perancis menjadi milik Belanda, dan 15 tahun kemudian
menjadi negara nasional yang merdeka. Atau, Revolusi Yunani tahun 1821–1829 di
mana Yunani ingin melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Kekaiseran Ottoman
dari Turki. Sementara di belahan Eropa lain, nasionalisme muncul sebagai
kesadaran untuk menyatukan wilayah atau daerah yang terpecah-belah. Misalnya,
Italia dibawah pimpinan Giuseppe Mazzini, Camillo Cavour, dan Giusepe
Garibaldi, mempersatukan dan membentuk Italia menjadi sebuah
negara-kebangsaan tahun 1848. Di Jerman, kelompok-kelompok negara kecil
akhirnya membentuk sebuah negara kesatuan Jerman dengan nama Prusia tahun 1871
di bawah Otto von Bismarck. Banyak negara kecil di bawah kekuasaan kekaisaran
Austria pun membentuk negara bangsa sejak awal abad 19 sampai masa setelah
Perang Dunia I. Sementara itu, Revolusi 1917 di Rusia telah melahirkan
negara-bangsa Rusia.
Semangat
nasionalisme menyebar ke seluruh dunia dan mendorong negara-negara Asia–Afrika
memperjuangkan kemerdekaannya. Ini terjadi setelah Perang Dunia I dan selama
Perang Dunia II. Hanya dalam dua puluh lima tahun pasca Perang Dunia II, ada
sekitar 66 negara-bangsa yang lahir. Indonesia termasuk salah satu dari negara
bangsa yang baru lahir pasca Perang Dunia II ini. Semangat nasionalisme telah
mendorong negara-negara di bawah bekas Yugoslavia dan bekas Uni Soviet lahir
sebagai negara-negara bangsa. Dapat dipastikan bahwa ke depan, nasionalisme
akan terus menjadi ideologi yang menginspirasi dan mendorong gerakan
pembentukan komunitas bersama berdasarkan karakteristik etnis, kultur, atau pun
politik.
Demikianlah,
negara-bangsa (nation-state) lahir sebagai bentuk dari kesadaran sebagai
bangsa (nasionalisme). Umumnya negara-bangsa adalah produk zaman modern, karena
lahir sejak akhir abad ke-18 dengan puncak pada era pasca Perang Dunia II.
Dalam negara-bangsa yang berdaulat, nasionalisme tetap dipegang teguh sebagai
ideologi yang mempersatukan segenap elemen masyarakat demi mewujudkan tujuan
hidup bersama.
Inilah juga sebabnya mengapa dewasa ini negara-bangsa umumnya
menjalankan kekuasaannya secara demokratis melalui sistem perwakilan. Ini
mencegah tindakan otoriter elit atau penguasa yang mau memonopoli dan
menyalahgunakan kekuasaannya, bahkan atas nama nasionalisme sekalipun.
Nasionalisme yang demokratis dan berdasarkan konstitusi akan memposisikan
masyarakat sebagai warga negara yang ikut aktif dalam seluruh kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Lahirnya paham nasionalisme di
Eropa diikuti dengan terbentuknya negara-negara nasional atau negara
kebangsaan. Bangsa-bangsa Eropa cenderung menindas bangsa-bangsa yang dijajah
sehingga bangkitlah semangat nasionalisme di negara-negara jajahan. misalnya,
gerakan nasionalisme di Asia dan Afrika, seperti Cina, India, Indonesia, Turki,
dan Mesir. Adapun tindakan dari negara-negara di gerakan nasionalisme Asia dan
Afrika tersebut yaitu:
1) Nasionalisme
Cina
Nasionalisme Cina lahir setelah rakyat Cina merasa
kecewa terhadap penguasa Manchu antara tahun 1644-1912 yang dinilai bukan
bangsa asli Cina dan semakin memuncak setelah Inggris mampu mengalahkan pasukan
kaisar dalam Perang Candu tahun 1842. Salah satu tokoh nasionalis Cina adalah
Dr. Sun Yat Sen yang berusaha membangun negara Cina modern dengan menggalang
persatuan di antara kelompok Cina.
2) Nasionalisme
India
Gerakan politik muncul setelah berdirinya Indian
National Congress (Partai Kongres). Organisasi Partai Kongres
merupakan pencetus rasa kebanggaan rakyat India. Salah satu tokoh nasionalis
India adalah Mahatma Gandhi. Dalam memperjuangkan kemerdekaan India, Mahatma Gandhi
melancarkan gerakan Ahimsa, Satyagraha, Hartal, dan Swadesi.Ahimsa.
3) Nasionalisme
Turki
Nasionalisme Turki diawali oleh naik takhtanya
Sultan Hamid II tahun 1876. Penindasan yang dilakukan oleh Sultan Hamid II
mendorong sekelompok mahasiswa dan perwira militer Turki untuk memberontak
terhadap Sultan Hamid II. Kelompok perlawanan yang paling menonjol adalah
Gerakan Turki Muda. Akhirnya, Mustafa Kemal Pasha memanfaatkan untuk memimpin
pergerakan nasional Turki yang semakin lemah akibat Perang Dunia I.
4) Nasionalisme
Mesir
Penjajahan Inggris di Terusan Suez memunculkan rasa
nasionalisme bagi rakyat Mesir. Inggris ingin menguasai wilayah tersebut karena
letaknya strategis sebagai wilayah transit perdagangan minyak. Pada tahun 1882,
Mesir menuntut kemerdekaannya kepada Inggris. Akhirnya, tahun 1922 Mesir
menjadi kerajaan di bawah persemakmuran Inggris. Pada tahun 1936, Mesir menjadi
negara merdeka penuh.
Indonesia
telah dijajah oleh bangsa Barat sejak abad XVII, namun kesadaran nasional
sebagai sebuah bangsa baru muncul pada abad XX. Kesadaran itu muncul sebagai
akibat dari sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial.
Karena, melalui pendidikan muncul kelompok terpelajar atau intelektual yang
menjadi motor penggerak nasionalisme Indonesia. Inilah yang kemudian dikenal
dengan periode pergerakan nasional. Perjuangan tidak lagi dilakukan dengan
perlawanan bersenjata tetapi dengan menggunakan organisasi modern.
Nasionalisme
berhubungan dengan penemuan identitas nasional. Kesadaran akan identitas nasional
ini dapat dipicu oleh letak geografis, misalnya sekelompok masyarakat hidup
dalam sebuah wilayah yang sama menyadari keberadaannya sebagai satu bangsa. Ini
mirip kesadaran sebagai keluarga besar. Tapi, kesadaran akan identitas nasional
juga bisa lahir karena pengalaman pahit tertentu yang dialami secara bersama,
meskipun masyarakat tidak hidup d-lam satu wilayah geografis yang sama. Inilah
yang dialami oleh bangsa Indonesia. Pengalaman dijajah Belanda selama ratusan
tahun telah melahirkan kesadaran akan identitas diri dan identitas nasional
yang ingin melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme apapun. Meskipun
secara geografis Indonesia memiliki ribuan pulau dan ratusan ribu suku bangsa,
interaksi masyarakat di Nusantara sejak perdagangan antarpulau dan antarbenua
di sekitar abad ke-4 dan ke-5 masehi sampai masa-masa kejayaan
kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan bagian dari proses
pembentukan identitas kebangsaan Indonesia. Dari situlah identitas nasional
Indonesia dirumuskan. Bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di kepulauan
Nusantara, meskipun beranekaragam, mereka tetaplah satu.
Nasionalisme
berhubungan dengan kesadaran akan teritori. Ketika Napoleon Bonaparte menguasai
banyak negara di Eropa, lahir kesadaran bahwa teritori atau tanah airnya sedang
berada di bawah kekuasaan asing. Kesadaran ini memunculkan semangat untuk
melepaskan diri dari penjajahan. Demikian pula Indonesia. Wilayah dari Sabang
sampai Merauke yang diduduki dan dieksploitasi Belanda untuk kepentingannya
telah melahirkan kesadaran akan sebuah tanah air (teritori) yang harus
dibebaskan supaya masyarakatnya bisa membangun ke-hidupan bersama yang adil,
damai, dan sejahtera. Jadi, kesadaran akan teritori ini tidak bersifat regional
atau lokal—terbatas pada wilayah tertentu saja yang dihuni oleh kelompok suku
atau etnis yang sama—tetapi kesadaran ke-Indonesia-an. Karena itu, arti
“tanah airku” dalam nasionalisme Indonesia bukan terbatas tanah air (lokalitas)
tempat seseorang dilahirkan—desa tertentu atau pulau tertentu—tetapi sebuah
tanah air Indonesia. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang
mengidentifikasi diri sebagai berbang-sa Indonesia sungguh menyadari diri
sebagai beraneka ragam suku, agama, ras, bahkan wilayah (territory).
Nasionalisme Indonesia yang lahir sejak tahun 1928 memang
lebih bersifat nasionalisme politik. Artinya, kesadaran sebagai bangsa
Indonesia yang diikrarkan para pemuda pada hari Sumpa Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 merupakan sebuah kesadaran politik untuk menggalang persatuan demi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mohammad Yamin menyebut, bahwa
nasionalisme Indonesia pada saat kelahiran Budi Utomo (10 Mei 1908) bersifat
nasionalisme kultur. Nasionalisme kultur bangsa Indonesia sebenarnya sudah
mulai terbentuk sejak abad perdagangan antarpulau di era abad ke-4 dan ke-5
masehi dan mencapai puncak pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Meskipun
demikian, harus diingat bahwa nasionalisme tidak harus terbatas pada
nasionalisme politik. Bahkan dalam sebuah negara bangsa pun masih ada kesadaran
akan nasionalisme berdasarkan kesamaan suku, etnis, agama, atau pulau tertentu.
Di dunia pun hal semacam ini tetap ada. Misalnya, orang Afrika yang menjadi
warga negara Amerika Serikat merasa memiliki semangat kebangsaan Afrika,
mengidentifikasi diri dan kemudian memproduksi kebudayaan khas Afro-Amerika
dalam sebuah negara-bangsa Amerika Serikat. Mereka sama sekali tidak ingin melepaskan
diri dan kewarganegaraannya dari Amerika Serikat. Di Indonesia pun hal semacam
ini dapat terjadi. Kesadaran kebangsaan orang Aceh, orang Makassar, Minahasa,
Madura, Jawa, Papua, atau Sunda, dapat dipahami sebagai kesadaran nasionalisme
kultural. Kesadaran inilah yang memberi makna dan jati diri pada masyarakat.
Negara tidak perlu takut bahwa kesadaran semacam ini akan berkembang ke arah
separatisme dan upaya melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Yang penting negara sungguh-sungguh menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya secara baik dan benar.
Nasionalisme
Indonesia muncul sebagai reaksi dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang
ditimbulkan oleh adanya kolonialisme. Oleh karena itu, gerakan nasionalisme
pada awal abad XX tidak bisa dipisahkan dari praktik kolonialisme sebab
keduanya merupakan hubungan sebab akibat. Hanya saja, pada tahap awal
nasionalisme berkembang pada tingkat elite yaitu kelompok bangsawan terpelajar.
Tahapan
perkembangan nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut.
1) Periode Awal Perkembangan
Dalam
periode ini gerakan nasionalisme diwarnai dengan perjuangan untuk memperbaiki
situasi sosial dan budaya. Organisasi yang muncul pada periode ini adalah Budi
Utomo, Sarekat Dagang Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah.
2) Periode Nasionalisme Politik
Periode
ini, gerakan nasionalisme di Indonesia mulai bergerak dalam bidang politik
untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Organisasi yang muncul pada periode ini
adalah Indische Partij dan Gerakan Pemuda.
3) Periode Radikal
Dalam
periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia ditujukan untuk mencapai
kemerdekaan baik itu secara kooperatif maupun non kooperatif (tidak mau
bekerjasama dengan penjajah). Organisasi yang bergerak secara non kooperatif,
seperti Perhimpunan Indonesia, PKI, PNI.
4) Periode Bertahan
Periode ini, gerakan nasionalisme di
Indonesia lebih bersikap moderat dan penuh pertimbangan. Diwarnai dengan sikap
pemerintah Belanda yang sangat reaktif sehingga organisasi-organisasi pergerakan
lebih berorientasi bertahan agar tidak dibubarkan pemerintah Belanda.
Organisasi dan gerakan yang berkembang pada periode ini adalah Parindra, GAPI,
Gerindo.
Dari perkembangan nasionalisme
tersebut akhirnya mampu menggalang semangat persatuan dan cita-cita kemerdekaan
sebagai bangsa Indonesia yang bersatu dari berbagai suku di Indonesia.
FASISME
Fasisme merupakan paham politik
ideologi yang diambil dari bahasa Italia, “fascio” atau dari bahasa
Latin yaitu “fascis” yang artinya seikat tangkai kayu. Ikatan kayu
tersebut ditengahnya terdapat kapak. Pada masa Kerajaan Romawi, fascis merupakan symbol dari kekuasaan
pejabat pemerintah. Dalam pengertian modern, fasisme merupakan sebuah paham
politik yang mengagungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Untuk mencapai
tujuan dari fasisme, harus ada sosok kharismatik dalam memimpin bangsa dan
negara. Tokoh kharismatik tersebut sebagai symbol kebesaran negara dan didukung
masa atau rakyat yang fanatik terhadap pemimpin tersebut.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di
Italia dengan pemimpinnya Mussolini, sementara di Jerman sebuah paham yang dihubungkan
dengan fasisme yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme tidak menekankan
pada ultra-nasionalsme saja namun juga rasialisme dan rasisme yang sangat kuat.
Pada masa Perang Dunia II, fasisme dan nazisme memberi gambaran yang sangat
mengerikan tentang kaganasan dan ketidakmanusiaan.
Istilah fasisme pertama kali muncul
pada masa Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919 saat berdirinya gerakan
Fasis Italia dan selanjutnya paham kediktatoran fasisme dirubah lebih moderat.
Sementara itu, gagasan fasisme yang lebih sempit dan radikal diterapkan oleh
Adolf Hitler dengan paham nasionalis-sosialis atau Nazisme. Nazisme menganut
ideologi campuran antara fanatisme ras dan pragmatisme (Roger
Eatwell,2004:248).
Secara umum yang dianggap dan
mewakili fasisme adalah Fasisme di Italia pada jaman Mussolini dan Nazisme
Jerman, dimana ideology tersebut sebagai penyebab utama meletusnya Perang Dunia
II tahun 1939-1945. Fasisme digunakan untuk mengacu pada fasisme di Italia,
sedangkan Nazisme digunakan untuk menyebut fasisme di Jerman pada masa Adolf
Hitler. Namun pada perkembangannya kekuasaan sebuah rezim di belahan dunia
dianggap sebagai fasisme juga seperti Pemerintahan Jepang pada Perang Dunia II,
kediktatoran Spanyol pada masa Jenderal Franco (1939-1975), Pemerintahan Peron
di Argentina (1943-1955), Pemerintahan Jenderal Augusto Pinochet di Chike
(1973-1988) dan yang mutakhir rezim Sadam Husein di Irak yang akhirnya pemerintahan
Sadam Husein ditumbangkan oleh Amerika Serikat.
Fasisme berusaha untuk mengatur
bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem
politik dan ekonomi. Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang
kuat, identitas kolektif tunggal, dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan
berperang untuk menjaga bangsa yang kuat. Pemerintah fasis melarang dan menekan
oposisi terhadap negara. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme
sebagai memberikan perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan
renovasi spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi
dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas
militer. Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-individualis,
anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar,
dan dalam banyak kasus anti-kapitalis. Fasisme menolak konsep-konsep
egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin,
hirarki, dan semangat. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme (sebagai
gerakan borjuis) dan marxisme (sebagai sebuah gerakan proletar) untuk menjadi
eksklusif ekonomi berbasis kelas.
Kondisi penting lainnya dalam
pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan industrialisasi. Munculnya negara
industri, memunculkan ketegangan sosial dan ekonomi. Jika liberalisme adalah
penyelesaian ketegangan dengan jalan damai yang mengakomodasi kepentingan yang
ada, maka fasisme mengingkari perbedaan kepentingan secara paksaan. Fasisme
mendapat dukungan pembiayaan dari industriawan dan tuan tanah, karena kedua
kelompok ini mengharapkan lenyapnya gerakan serikat buruh bebas, yang
dianggapnya menghambat kemajuan proses produksi dalam industri. Sumber dukungan
lain bagi rezim fasis adalah kelas menengah, terutama pegawai negeri. Mereka
melihat fasisme adalah sebuah sarana untuk mempertahankan prestise yang ada
sekaligus perlindungan politik. Fasisme juga memerlukan dukungan dari kaum
militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia dan Jepang, sebagai jalan menuju
militerisasi rakyat.
Meskipun fasisme bukan merupakan
akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya
angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis
menganggap dirinya tidak berguna dan diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka
fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, dengan menunjukkan bahwa
mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah,
maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah.
Petunjuk ke arah pemahaman fasisme
terletak pada kekuatan dan tradisi masyarakatnya. Di Jerman, Jepang dan Italia,
tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga
munculnya rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka
jalan menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran
secara politik, ditandai dengan munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih
kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi.
Fasisme juga memiliki ciri untuk
menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada. Mementingkan status dan
kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang
membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai
suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan
apa dan bagaimananya.
Sebagai cara mempertahankan
kesatuan, fasisme juga menciptakan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner.
Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa
mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital,
karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah
cukup untuk tidak sekedar berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat
imperialisnya. Mereka akan menjanjikan kemenangan dalam permusuhan dengan
bangsa lain. Kaum fasis senantiasa ingin menunjukkan bahwa mereka lebih unggul
dari bangsa atau negara manapun.
Tidak seperti komunisme, fasisme
tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat perihal ajarannya.
Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi
yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal.
Namun demikian, bukan berarti fasisme
tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak
ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan
Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah
yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis di dunia, karena wawasannya yang
bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri
dari tujuh unsur:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan
nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah
sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama
pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan
atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat
kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah
yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita,
militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa
yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah.
Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam)
yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang
mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada
kekerasan dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu
sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan
kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam
pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp
konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui
kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran
terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai
obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit.
Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang
lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan
pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai
tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap
“kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya
ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan
kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan
yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme
dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme.
Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan
massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam
pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka
lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur
keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya,
sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini
memunculkan semangat imperialisme.
Terakhir
atau ketujuh,
fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus
internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan
cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut.
Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi
peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan
ketertiban internasional.
Di Indonesia, pada tahun 1965,
kekuatan militer melakukan kudeta dan mendirikan kediktatoran militer. Walau
banyak kemiripannya dengan rezim Nazi, dengan pembantaian yang tidak kalah
kejamnya dengan kamp konsentrasi Nazi, namun rezim kediktatoran militer Orde
Baru bukanlah rezim fasis. Ada perbedaan mendasar terkait dengan keterlibatan
massa fanatik borjuis kecil yang menjadi fitur utama dari fasisme Italia dan
Jerman. Akan tetapi ada juga kesamaan-kesamaan yang fundamental terkait dengan
proses perkembangannya: krisis akut tak-terpecahkan di dalam masyarakat
Indonesia yang secara efektif telah berlangsung sejak 1945; kekuatan buruh dan
tani yang terus meningkat dan memasuki periode revolusioner, dengan sejumlah
kesempatan untuk merebut kekuasaan; ketidakmampuan kepemimpinan buruh, dalam
hal ini PKI, untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme;
kebangkrutan borjuasi nasional, yang terlalu lemah untuk membangun sebuah
parlemen borjuasi yang stabil dan mengendalikan situasi.
Seperti yang telah kita paparkan,
kaum kapitalis biasanya lebih memilih berkuasa dengan metode-metode parlementer
borjuis. Metode ini lebih murah dan efektif. Akan tetapi di negeri-negeri Dunia
Ketiga yang kontradiksinya sangat akut dan sistem parlementer borjuisnya lemah
(yang merefleksikan lemahnya kaum borjuasi itu sendiri), sering kali mereka
tidak punya privilese ini. Dalam banyak situasi, mereka terpaksa menggunakan
aparatus pemaksa Negara, secara parsial maupun terbuka lewat kudeta militer.
Dalam konteks Indonesia, militer di
bawah Soeharto terdorong melakukan kudeta setelah ada periode panjang
revolusioner di Indonesia, di mana tidak ada satu pun kekuatan yang mampu
menyediakan jalan keluar. PKI menolak merebut kekuasaan dan mengekor pada
borjuasi nasional dengan dalih bahwa tahapan selanjutnya dari revolusi
Indonesia adalah revolusi borjuasi yang akan membawa kapitalisme yang mandiri,
dan baru setelah itu sosialisme di masa depan yang jauh. Kaum borjuasi nasional
sendiri terpecah-pecah. Di satu pihak adalah sayap kiri yang personifikasinya
adalah Soekarno, yang hanya bisa mendapatkan dukungan massa dengan
retorika-retorika anti-imperialis dan populis, tapi tanpa bisa merealisasikan
secara riil program-program anti-imperialis dan populisnya karena logika
kapitalisme tidak memungkinkan realisasi penuhnya. Sementara sayap kanan kaum
borjuasi tidak punya basis dukungan sama sekali dari rakyat. Argumen pro-pasar
dan pro-kapital mereka tidak menemukan gaungnya. Situasi revolusioner yang
menggantung ini tidak bisa bertahan lama. Masyarakat borjuasi tidak bisa
menolerir sebuah situasi di mana jutaan rakyat pekerja terorganisir ke dalam
organisasi-organisasi revolusioner, di mana angkatan bersenjatanya juga
terbelah. Inilah kondisi-kondisi yang menyiapkan kudeta militer di Indonesia.
Melihat borjuasi nasional tidak bisa menyelesaikan situasi yang ada,
bergeraklah aparatus militer Negara untuk mengembalikan ketertiban dan kedamaian.
Kebijakan kolaborasi kelas PKI dengan
borjuasi nasional yang mengaku ‘progresif’ tidak menyelamatkan mereka dari
kudeta militer, tetapi justru menyiapkan kondisi-kondisi untuk kehadiran
intervensi militer. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan kolaborasi kelas
tidak pernah menghentikan fasisme atau kudeta militer. Kebijakan Front Popular
di Spanyol yang diusung oleh Partai Komunis Spanyol yang Stalinis, dimana
diserukan agar buruh bersatu dengan kaum borjuasi nasional ‘progresif’ untuk
melawan Franco, justru memperlemah perlawanan revolusioner terhadap Franco. Ini
harus dibayar mahal dengan kediktatoran fasisme Franco selama 36 tahun.
Selama kapitalisme masih bercokol
dan tidak ditumbangkan secara revolusioner, maka bahaya fasisme atau kediktatoran
militer akan selalu mengancam. Namun sebelum bahaya fasisme atau kediktatoran
militer ini menjadi riil, kelas buruh akan terlebih dahulu diberikan banyak
kesempatan untuk menang. Tidak ada satu pun rezim fasis dan rezim kediktatoran
militer yang lahir begitu saja karena ada segelintir orang yang menghendakinya.
Mereka hadir sebagai kekuatan reaksi terhadap aksi revolusioner buruh.
SOSIALISME
Sosialisme (sosialism) secara etimologi berasal dari
bahasa Perancis sosial yang berarti kemasyarakatan. Istilah sosialisme pertama
kali muncul di Perancis sekitar 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran
yang masing-masing hendak mewujutkan masyarakat yang berdasarkan hak milik
bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi
diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya
memperoleh laba tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam
arti tersebut ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: (1) sosial
demokrat, (2) komunisme, (3) anarkhisme, dan (4) sinkalisme (Ali Mudhofir,
1988). Sosialisme ini muncul kira-kira pada awal abad 19, tetapi gerakan ini
belum berarti dalam lapangan politik. Baru sejak pertengahan abad 19 yaitu
sejak terbit bukunya Marx, Manifes Komunis (1848), sosialisme itu (seakan-akan)
sebagai faktor yang sangat menentukan jalannya sejarah umat manusia.
Istilah “sosialis” atau negara sosial demokrat digunakan
untuk menunjuk negara yang menganut paham sosialisme “moderat” yang dilawankan
dengan sosialisme ”radikal” untuk sebutan lain bagi “komunisme”. Hal ini
ditegaskan mengingat dalam proses perkembangannya di negara barat yang pada
mulanya menganut paham liberal-kapitalis berkembang menjadi Negara sosialis
(sosialis demokrat) (Frans Magnis Suseno,1975: 19-21). Perbedaan yang paling
menonjol antara sosialis-demokrat dan komunisme (Marxisme-Leninisme) adalah
sosial demokrat melaksanakan cita-citanya melalui jalan evolusi, persuasi,
konstitusional-parlementer dan tanpa kekerasan, sebaliknya Marxisme-Leninisme
melalui revolusi.
Sosialisme adalah ajaran kemasyarakatan (pandangan hidup)
tertentu yang berhasrat menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil
produksi secara merata (W.Surya Indra, 1979: 309). Dalam membahas sosialisme
tidak dapat terlepas dengan istilah Marxisme-Leninisme karena sebagai gerakan
yang mempunyai arti politik, baru berkembang setelah lahirnya karya Karl Marx,
Manifesto Politik Komunis (1848). Dalam edisi bahasa Inggris 1888 Marx memakai
istilah “sosialisme” dan ”komunisme” secara bergantian dalam pengertian yang
sama. Marx memakai istilah “komunisme” sebagai ganti “sosialisme” agar nampak
lebih bersifat revolusioner (Sutarjo Adisusilo, 1991: 127).
Dalam perkembangannya, Lenin dan Stalin berhasil mendirikan
negara “komunis”. Istilah “sosialis” lebih disukai daripada “komunis” karena
dirasa lebih terhormat dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka menyebut masa
transisi dari negara kapitalis ke arah Negara komunis atau “masyarakat tidak
berkelas” sebagai masyarakat sosialis dan masa transisi itu terjadi dengan
dibentuknya “negara sosialis”, kendati istilah resmi yang mereka pakai adalah
“negara demokrasi rakyat”. Di pihak lain negara di luar “negara sosialis”,
yaitu negara yang diperintah oleh partai komunis, tetap memakai sebutan
komunisme untuk organisasinya, sedangkan partai sosialis di negara barat
memakai sebutan “sosialis demokrat” (Meriam Budiardjo, 1984: 5).
Istilah
sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar 1830. Robert Own, adalah
orang pertama yang menggunakan kata sosialisme dan dikenal sebagai pelopor
sosialisme di Inggris (Henry, 2002: 511). Pemikirannya tentang sosialisme
dituangkan dalam buku berjudul “A View of Society, an Essay on the Formation of
human Character”. Dalam bukunya tersebut, ia menyatakan bahwa lingkungan sosial
berpengaruh pada pembentukan karakter manusia. Ia berusaha mencari cara dengan
meningkatkan kesejahteraan pekerjanya.
Sosialisme
muncul karena reaksi terhadap liberalisme dan kapitalisme pada abad ke-19.
Tahun 1750-1840 di Eropa terjadi revolusi industri yang diawali oleh Inggris,
ditandai dengan perubahan dari produksi yang dulunya dikerjakan dengan tangan
manusia menjadi dikerjakan dengan mesin-mesin (Dellier, 1999: 188). Akibat dari
revolusi industri ini adalah munculnya industri besar-besaran, lahirnya
kelompok borjuis dan buruh, urbanisasi dan lahirnya kapitalisme modern. Dampak
paling mencolok dari revolusi industri ini adalah kesenjangan antara kaum buruh
dan kaum borjuis. Nasib mereka tidak dipedulikan oleh majikannya, mereka harus
hidup di perumahan kumuh dan mengais-ngais makanan. Mereka diekploitasi, jam
kerja mereka dalam sehari bisa lebih dari 12 jam (Willian Ebenstein,dkk, 1990:
117). Revolusi sosial yang meletus di
Inggris pada awal abad ke-19 ini akhirnya melahirkan sebuah paham baru yang
mengusahakan industri di suatu negara tidak hanya dikuasai oleh individu tetapi
juga harus ada ikut campur dari negara sehingga lebih demokratis dan bermanfaat
untuk kesejahteraan masyarakat seluruhnya (Firdaus, 2007: 268). Paham inilah
yang kini dikenal dengan sosialime.
Tujuan sosialisme untuk mewujudkan masyarakat sosialis
dengan jalan mengendalikan secara kolektif sarana-sarana produksi dan
memperluas tanggung jawab negara bagi kesejahteraan rakyat. Dari sekian
banyak jenis sosialisme yang berkembang, terdapat dua jenis sosialisme yang
berkembang pesat di dunia dan mewarnai
perjalanan panjang sejarah umat manusia, yaitu sosialis-demokratis dan
sosialis-komunis. Perbedaan mendasar dari keduanya adalah cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan dari sosialisme itu sendiri, yaitu mewujudkan masyarakat
sosialis. Perbedaan juga tampak dari kehidupan ditempat paham itu diterapkan.
Paham sosialism-komunis pada dasarnya lebih
radikal dibanding sosialism-demokratis. Sosialisme aliran ini menggunakan
metode revolusioner dan totaliter. Penganut aliran ini memilih jalan revolusi
untuk mencapai cita-cita mereka, menciptakan masyarakat
sosialistis. Pendistribusian dan konsumsi didasarkan pada kebutuhannya,
sedangkan hak milik perseorangan dalam paham ini tidak diakui. Semua dikuasai dan
hak milik atas nama negara. Paham ini masih kuat dipengaruhi oleh filsafat
Marxis. Biasanya negara yang menganut paham ini mempunyai pemerintahan yang
otoriter seperti yang terjadi di Rusia.
Paham
sosialisme-demokrasi bisa dibilang lebih halus bila dibandingkan dengan
komunisme. Paham ini menggunakan metode evolusioner dan demokratis. Untuk
mencapai tujuan mereka cenderung memilih jalur evolusi, yaitu perubahan
bertahap dalam jangka waktu tertentu. Pendistribusian hasil industri dan
konsumsi didasarkan pada kecakapan yang dimiliki oleh perorangan, sehingga
kesejahteraan ditentukan oleh usaha orang itu. Dalam masalah hak kepemilikan,
perorangan diperbolehkan mempunyai hak milik akan tetapi perusahaan dan alat
industri yang berhubungan dengan orang banyak harus menjadi hak milik negara
dan dikelola sepenuhnya oleh negara.
Paham sosialisme demokrat berasal dari ideologi sosialisme di
negara-negara demokrasi barat. Sosialisme di Indonesia mulai dari bukan
merupakan paham baru di Indonesia, sosialisme didasarkan pada teori Karl Marx
dan Frederick Engels, tokoh-tokoh sosialisme utopis, perkembangan sosialisme
ilmiah, serta pilihan paham sosialisme untuk Indonesia.
Munculnya
paham sosialisme di Indonesia ini tidak lepas dari adanya golongan sosialis
dari luar negeri dalam menancapkan sosialisme di negeri ini (dulu Hindia
Belanda). Diperkirakan sosialisme mulai berkembang di Indonesia ketika sebuah
organisasi kaum sosialis yang dibangun tahun 1914 yaitu ISDV (Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging) atau Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda (Dekker, 1993: 33). Organisasi ini pada awalnya
merupakan kumpulan dari kaum sosialis Belanda yang
bekerja di Hindia-Belanda, dan dibentuk atas kegelisahan seorang sosialis
Belanda yang berhadapan dengan kondisi-kondisi sosial-politik Hindia Belanda
saat itu, yaitu Sneevliet atau
lengkapnya Hendricus Josephus
Franciscus Marie Sneevliet. Seneevliet adalah seorang aktivis buruh
kereta api di negeri Belanda yang datang ke Indonesia untuk mencari pekerjaan
(Lemhanas: 2005:208). Kedatangannya ke Hindia Belanda tahun 1913 telah
membawanya menjadi tonggak awal dari kemunculan ide-ide sosialisme di
Indonesia.
Gerakan sosialis yang dilakukan oleh Sneevliet ini
sebenarnya juga dipengaruhi oleh keadaan yang ada di luar negeri seperti
peristiwa di Rusia. Menurut Baars (1991: 384) bahwa dalam artikel
"Kemenangan", yang merupakan teriakan gembira dari Revolusi Rusia
pada bulan Februari di surat kabar Hindia bulan Maret 1917, Henk Sneevliet,
pemimpin kelompok kecil sosialis yang tersisa di Hindia Belanda, menyebabkan
proses politik besar pertama publik di koloni.
Atas dasar itulah, membuat keinginan Sneevliet sebagai pejuang kelas di
Hindia Belanda saat itu sangat ingin untuk melakukan hal yang sama. Saat itu
ISDV mengerti betul bahwa penjajahan Belanda di Indonesia dalam bentuk
kolonialisme (pemerintahan Hindia Belanda) merupakan bagian langsung dari cara
untuk mempertahankan kapitalisme
di Eropa dan Amerika (Imperialisme).
Tetapi
mereka masih berbeda pandangan tentang apakah sudah saatnya untuk
mempropagandakan ide-ide sosialisme dan mendorong kemerdekaan pada masyarakat
Hindia Belanda. Pihak yang lebih moderat yang di kemudian hari berpecah dengan
ISDV lebih menekankan pada tugas-tugas kajian bagi kepentingan fraksi SDAP
(Partai Sosial Demokrat Belanda) di parlemen Belanda. Sneevliet akhirnya harus
berkompromi, dimana selain mempropagandakan ide-ide sosialisme dan
kajian-kajian bagi kepentingan SDAP, ISDV disepakati hanya berurusan dengan
politik sebatas apa yang tidak dilarang oleh peraturan kolonial. Namun
demikian, dalam deklarasi prinsipnya ISDV telah memasukkan prinsip “perjuangan
kelas” dan makna kemerdekaan dalam tujuan organisasinya, berbeda dari
organisasi-organisasi pergerakan sebelumnya yang lebih menekankan segi
kebangsaan (seperti Boedi Oetomo atau Indische Partij) atau keagamaan (seperti
Serikat Islam).
Faksi
Sneevliet juga mulai mempengaruhi organisasi-organisasi massa besar seperti
Insulinde dan Serikat Islam. Usaha ini dilakukan karena ISDV membutuhkan
pengikut sosialis dari kalangan pribumi untuk tampil memimpin dan
mengorganisasikan perjuangan rakyat, sebagai suatu hal yang sulit dilakukan
oleh kaum sosialis berkebangsaan Belanda. Hingga akhirnya Serikat Islam
terbukti menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan pemikiran sosialis di
kalangan pribumi, dan menjadikan gerakan berbasis massa yang diharapkan
Sneevliet mendapatkan sejarahnya di Indonesia.
Sedangkan,
disaat pandangan-pandangan sosialis telah mengalir deras dan meraih kepopuleran
dalam tubuh SI khususnya cabang Semarang, dan setelah peristiwa revolusi Rusia
1917 yang tersiar ke pelosok dunia, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia dari yang berpandangan
nasionalis sampai Islam, dari
Tjokroaminoto sampai Soekarno, mulai ikut mempelajari karya-karya Marx dan
Engels, khususnya yang berjudul Das Capital (Modal). Dan saat itu dapat
dikatakan, tidak ada pemimpin pergerakan yang menolak tujuan-tujuan sosialisme
secara umum (yang dianggap sebagai tujuan persamaan antara sesama manusia tanpa
penindasan).
Pengusungan
prinsip dan tujuan sosialisme kedalam sebuah partai politik akhirnya terjadi
pada tahun 1920, yaitu hasil dari perubahan ISDV sendiri menjadi Partai Komunis
Indonesia. Dalam komposisi ISDV yang sudah banyak memiliki anggota dari kaum
buruh dan pribumi, momentum pendirian partai bernama komunis didorong oleh dua
hal. Pertama, terbentuknya Internasional Komunis pada 1919, yang sekaligus
mematenkan nama ‘komunis’ secara internasional untuk membedakan diri dari
sosial-demokrat secara internasional yang berkhianat pada perjuangan kelas,
lalu menggusarkan pemimpin ISDV atas nama ‘sosial-demokrasi’
yang disandangnya. Kedua, faksi yang lebih moderat dalam ISDV kemudian
membentuk organ terpisah yang bernama ISDP.
Untuk
selanjutnya, harapan pemimpin bangsa Indonesia saat itu yaitu Soekarno,
berharap bahwa Indonesia akan menjadi Sosialisme. Mengingat bahwa paham ini
memberikan keterbukaan akan asas kebersamaan dan kesetaraan. Bahkan guna memperkuat kedudukannya, maka
Presiden Soekarno mengajarkan resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan
Pimpinan Nasionalis) dalam pidato memperingati hari ulang tahun RI 17 Agustus
1961. Sosialisme hanya dapat dicapai melalui revolusi yang dikendalikan oleh
satu pimpinan nasional, yaitu PBR (Pemimpin Besar Revolusi). Dengan demikian,
maka seluruh pejabat termasuk pimpinan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi
negara menurut diberi pangkat menteri, sehingga kedudukannya di bawah presiden (Aning,
2005: 134).
Kemudian di
era perkembangan perekonomian, sosialisme juga ikut mempengaruhi adanya
pemikiran-pemikiran tentang ekonomi Indonesia, salah satunya adalah Moh. Hatta. Dalam
beberapa tulisan pentingnya, Hatta merujuk pada sosialisme barat, yaitu paham
sosialisme demokrasi, bukan sosialisme Marx (komunis) yang menghendaki
perubahan secara kekerasan (kekerasan). Perkenalan Hatta dengan paham
sosialisme sudah berlangsung sejak tahun 1920.
Menurut
Harsoyo dkk (2006: 12) bahwa Hatta selain menggunakan istilah kolektivisme,
Hatta juga menggunkan istilah sosialisme untuk mengungkapkan hal yang sama
tentang masyarakat yang ada dalam idealismenya. Sungguh pun usaha ekonomi masih
bisa dikelompokkan dalam tiga cabang besar yaitu produksi, distribusi, dan
konsumsi seperti halnya dalam masyarakat kapitalis, tetapi kelas manusia hilang
dalam masyarakat
sosialisme. Dalam masyarakaat sosialisme yang ada adalah pembagian fungsi
pekerjaan. Menurut pandangan Sri Edi Swasono (dalam Haryoso dkk, 2006: 12-13),
sosialisme Indonesia menurut Hatta dicirikan oleh 3 hal:
1. Sosialisme
muncul karena golongan etik agama yang menghendaki adanya persaudaraan dan
tolong-menolong antar sesama. Rasa keadilan menggerakkan jiwa untuk berontak
terhadap kesengsaraan hidup dan terhadap ketimpangan antara si kaya dan si
miskin. Visi kerajaan Allah dihadirkan dalam dalam hidup masyarakat, supaya
manusia hidup dalam suasana sayang menyayangi, persaudaraan, dan bersikap adil.
Dengan demikian sosialisme di Indonesia tidak mendasarkaan pada pandangan
materialisme dialektik dari Marxisme.
2. Sosialisme
Indonesia merupakan ekspresi dari jiwa berontak bangsa Indonesia yang
memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari penjajah. Sosialisme tumbuh
dan sekaligus menjiwai pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia.
3. Hatta yang
kurang menerima pandangan Marxisme, mencari sumber-sumber sosialisme dalam
masyarakat Indonesia sendiri. Hatta menegaskan bahwa dasar-dasar sosialisme
Indonesia terdapat pada masyarakat desa yang kecil, yang bercorak kolektif,
yang sedikit-sedikit banyaknya masih bertahan sampai sekarang.
KOMUNISME
Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen
yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi
kesejahteraan
yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam
dunia politik.
Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap
paham kapitalisme di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan
ekonomi. Akan
tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut
komunis teori dan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan
cara perjuangan yang berbeda dalam pencapaian masyarakat
sosialis untuk
menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.
Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis
internasional.
Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. Sedangkan komunis internasional berasal
dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme".
Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari
pengambilalihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara
ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar (lihat: The
Holy Family), namun pengorganisasian buruh hanya dapat berhasil dengan
melalui perjuangan partai. Komunisme pada prinsipnya semua adalah
direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat
produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata.
Komunisme memperkenalkan penggunaan sistem demokrasi keterwakilan yang dilakukan
oleh elit-elit partai komunis oleh karena itu sangat membatasi langsung demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis
karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana
terdapat pada paham liberalisme.
Komunisme adalah pemikiran Karl Marx pada 21 Februari 1848.
Ia lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier jerman dari keluarga Yahudi. Para
psikolog berkesimpulan bahwa pada diri Karl Marx tertanam kebencian terhadap
agama Kristen, sebagaimana juga Frued, yang juga sama-sama Yahudi. Baik Marx
maupun Frued menolak agama, khususnya agama Kristen atas nama ilmu pengetahuan,
tetapi Marx banyak pengaruhi emosinya, ketimbang Frued. Kebencian terhadap
agama berkembang menjadi atheis, apalagi setelah Marx mengikuti pemikiran
Ludwig Feuerbach. Marx lebih condong memahami atheis dengan motif-motif
psikologi dan emosional.
Selain atheisme yang menjadi landasan filsafat agama
Marxisme dan Komunisme, juga Materialisme yang menjadi dasar filsafat tersebut.
Paham Materialisme dapat dibagi kedalam dua ciri: pertama, dalam pandangan
materialisme alam kebendaan merupakan ukuran nilai-nilai dan norma-norma
kenyataan, entah alam rohani yang diasalkan seluruhnya dari pada alam
kebendaan, entah itu dipandang sebagai gejala suatu sampingan (epifenomen),
entah dianggap sebagai suatu hasil dari materi. Ini berarti konsepsi tentang
benda-benda dalam pengalaman sehari-hari, khususnya didalam lingkungan
kebudayaan Eropa, dijadikan titik pangkal.
Landasan dasar filsafat Marxisme yang ketiga ialah
dialektika, yang berasal dari filsafat Hegel (1770-1831). Dialektika mempunyai
teori bahwa alam semesta ini bukan tumpukan yang terdiri atas segala sesuatu
yang berdiri sendiri-sendiri dan terpisah-pisah, tetapi merupakan keseluruhan
yang bulat dan berhubungan satu sama lain bahwa dalam perkembangan alam semesta
ini terdpat perubahan dari kuantitatif ke kualitatif dan adanya pertentangan
didalam benda itu sendiri (kontradiksi intern). Singkatnya dialektika
bercirikan empat asas, yaitu gerak saling berhubungan, perubahan dari
kuantitatif ke kualitatif dan sebaliknya dan kontradiksi intern.
Historis-materialis yang merupakan dasar pembahasan
penghidupan masyarakat oleh Marx, ternyata berasal dari teori evolusi Darwin.
Hal ini terlihat dengan jelas dari surat yang dikirim oleh Marx kepada Engels,
setelah ia mempelajari buku yang ditulis Darwin itu. Yang diantara lain berbunyi:
“aku menerima pandangan ini sebagai dasar biologis untuk filsafat sejarahku”.
Perbedaan Marxime dengan Komunisme, pertama, “Marxisme”
tidak sama dengan “komunisme”. Komunisme yang disebut dengan “komunisme
internasional” adalah nama dari “gerakan kaum komunis”. Komunisme adalah
gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak Revolusi Oktober
1917 di bawah W.I Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional.
Istilah komunis juga digunakan untuk “ajaran komunisme” atau Marxisme-Lenisme
yang menjadi ajaran atau ideologi resmi komunisme. Jadi, Marxisme menjadi
komponen penting ideologi komunisme. Istilah “Marxisme” sendiri adalah sebutan
bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temannya
Friedrich Engels (1820-1895) dan oleh tokoh teori Marxis Karl Kautsky
(1854-1938).
Komunisme bukan hanya bergerak di Eropa, namun sudah
menyebar hampir keseluruh dunia termasuk Indonesia, sehingga menimbulkan banyak
pertentangan dikalangan masyarakat Indonesia diantara adalah munculnya gerakan
Partai Komunis Indonesia. Ideologi komunisme ke Indonesia tidak pernah terlepas
dari peranan seorang warga negara Belanda yang bernama Hendricus Josephus
Franciscus Maria Sneevliet. Pada awal masuknya ke Indonesia Sneevliet bekerja
disalah satu harian di Surabaya yang bernama Soerabajasche Handelsbad sebagai
staff redaksi di harian tersebut. Namun tidak lama berada di Surabaya,
Sneevliet memutuskan untuk pindah ke Semarang dan bekerja sebagai sekretaris di
salah satu maskapai dagang di kota tersebut. Pada saat itu kota Semarang
merupakan pusat organisasi buruh kereta api Vereenigde van Spoor en Tramweg
Personnel (VSTP). Pada awalnya Sneevliet di sewa oleh VSTP sebagai propagandis
bayaran untuk menyebarkan ajaran yang dianut oleh buruh tersebut. Melalui
kesempatan inilah Sneevliet berkenalan dengan massa buruh sekaligus
menyebarluaskan doktrin pertentangan kelas yang dianut oleh ideologi komunisme.
Sneevliet sadar betul bahwa keterkaitannya dengan VSTP merupakan sebuah peluang
besar untuk menumbuhkembangkan ideologi komunisme di Indonesia. Pada bulan Juli
1914 bersama personil-personil yang tergabung dalam VSTP seperti P. Bersgma,
J.A. Brandstedder, W.H. Dekker (pada saat itu menjabat sebagai sekertaris VSTP)
mempelopori berdirinya organisasi politik yang bersifat radikal, Indische
Sosial Democratische Vereeniging (ISDV) atau Serikat Sosial Demokrat India.
ISDV kemudian menerbitkan surat kabar Het Vrije Woord (suara
kebebasan) sebagai media propaganda untuk menyebarkan ajaran ajaran komunisme
yang menjadi ideologi dari organisasi tersebut. Oleh karena anggota ISDV
terbatas dikalangan orang-orang Belanda, maka organisasi ini belum bisa mempengaruhi
organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam (SI).
Usaha ISDV untuk mendatkan simpati rakyat tidak berhasil, karena rakyat ISDV
masih menjadi sebuah kesatuan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sneevliet
dan kawan-kawan sadar betul bahwa untuk mendapatkan simpati rakyat, ISDV harus
mampu berbaur bersama orang-orang pribumi dan mendekatkan diri dengan
kekuatan/pergerakan nasional yang sudah ada sebelumnya. Melalui organisasi
buruh yang ada di Semarang, ISDV melakukan pendekatan dengan Sarekat Islam yang
pada saat itu di pimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto. Sneevliet kemudian
memanfaatkan watak anti kolonialisme dan kapitalisme yang dianut dalam SI untuk
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah revolusi Rusia meletus pada tahun 1917 dan
dimenangkan oleh kekuatan komunis, watak gerakan ISDV pun semakin radikal dan
tak henti-hentinya untuk menyeberluaskan ajaran komunismenya. Para pemimpin
ISDV semakin gencar untuk terus melakukan pendekatan diri terhadap para
pemimpin SI di Semarang. Disamping itu, Sneevliet dan kawan-kawan juga
melakukan propaganda sampai ke lingkungan angkatan perang. Sneevliet terus
melakukan ceramah-ceramah politik yang tujuannya adalah menanamkan benih-benih
komunisme di lingkungan tersebut. Kegiatan Sneevliet ini sepenuhnya dibantu
oleh Branstedder dan van Burink. Atas kerjasama bersama rekan rekannya
Sneevliet akhirnya berhasil menggagasi terbentuknya Raad van Matrozen en
Mariniers (Dewan Kelasi dan Marinir), suatu organisasi dilingkungan militer
yang bersifat radikal revolusioner. Gebrakan yang dilakukan Sneevliet pun
diperkuat dengan di terbitkannya koran Soldaten en Mattrozekrant (koran serdadu
dan kelasi) dalam lingkungan militer. Isi koran ini selalu diwarnai dengan
ide-ide komunisme yang mengedepankan ide-ide perjuangan kelas.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Sneevliet ternyata tercium oleh pemerintah
Hindia Belanda. Kemudian pada bulan Desember 1918 Pemerintah Hindia Belanda
mengambil tindakan untuk mengusir Sneevliet dari Hindia Belanda karena kegiatan
yang dilakukannya dianggap mulai mengancam. Pada bulan Desember 1919 rekan
Sneevliet Brandstedder juga mengalami hal yang sama diusir oleh pemerintah
Hindia Belanda. Sekalipun Sneevliet dan Brandstedder telah meninggalkan Hindia
Belanda (Indonesia) namun usaha yang mereka lakukan selama ini telah membuahkan
hasil. ISDV akhirnya berhasil menyebarkan ajaran-ajaran komunisme di Semarang
dan mempengaruhi pimpinan SI Semarang yang pada saat itu dipimpin oleh Semaun
dan Darsono.
Setelah mendapatkan dukungan penuh dari SI Semarang, ISDV
menjadi semakin kuat dan ajaran komunisme semakin dikenal oleh masyarakat. Pada
tanggal 23 Mei 1920, tepatnya di gedung SI Semarang, ISDV sepakat mengganti
namanya menjadi Perserikatan Komunis di Indie (PKI). Perubahan nama ini
diperuntukan supaya organisasi ini lebih tegas dalam mengedepankan nama
komunisme sebagai ideologi dari organisasi mereka selama ini. Semaun dipilih
sebagai ketua dan Darsono sebagai wakilnya. Beberapa tokoh ISDV yang orang
belanda diangkat sebagai pendamping antara lain Bergsma sebagai sekertaris,
Dekker sebagai bendahara dan A. Barrs sebagai salah satu anggotanya. Sekalipun
Semaun dan Darsono telah menjadi pimpinan PKI, namun mereka tetap menjadi
pimpinan SI Semarang. Hal ini disebabkan karena pada saat itu CSI (Central
Sarekat Islam) masih memperbolehkan anggotanya untuk menjadi anggota dari
organisasi lain.
Diperbolehkannya keanggotaan ganda pada tubuh SI dilihat
sebagai kesempaatan besar bagi PKI untuk menyusup ke organisasi tersebut yang
kemudian bertujuan umtuk memecahnya. Hal ini dilakukan karena PKI menyadari
bahwa pada saat itu SI merupakan sebuah organisasi pergerakan nasional yang
besar dan kuat. Sehingga timbul keinginan diantara pimpian PKI untuk menguasainya.
Gebrakan-gebrakan yang dilakukan PKI dalam tubuh SI terang saja membuat
pimpinan CSI menjadi berang. CSI melihat bahwa tindakan tindakan yan dilakukan
oleh PKI telah mengarah kepada sebuah ancaman keutuhan didalam tubuh SI
sendiri. CSI kemudian menyadari bahwa yang menjadi penyebab pengaruh PKI begitu
kuat dalam tubuh SI adalah karena SI memperbolehkan sistem keanggotaan rangkap,
sehingga menjadi sangat mudah untuk disusupi oleh orang-orang yang bersal dari
organisasi lain.
Pada bulan Oktober 1921 dilaksanakan kongres SI yang ke VI
di Surabaya. Pada saat itu terjadi suasana panas mewarnai jalannya kongres
karena adanya perdebatan yang terjadi diantara fraksi komunis yang diwakili
oleh Darsono dan Tan Malaka dengan pimpinan SI pada saat itu Haji Agus Salim.
Pada kongres tersebut kemudian diputuskan bahwa dilarangnya keanggotaan
rangkap. Artinya anggota SI tidak lagi boleh menjadi anggota dari organisasi
lain, jadi bagi anggota yang selama ini merangkap sebagai anggota dari
organisasi lain harus memilih antara SI atau organisasi lainnya tersebut.
Keputusan ini sontak mendapat perlawanan dari faksi komunis karena hal tersebut
akan sangat merugikan bagi mereka bahwa keluar dai SI merupakan sesuatu yang
akan sangat merugikan bagi kekuatan PKI, maka Semaun selaku ketua PKI dan SI
Semarang pada saat itu menolak keputusan kongres dan justru menghimpun kekuatan
didalam tubuh SI. Semaun kemudian melakukan propaganda dalam tubuh SI dan
mengatakan bahwa apa yang telah diputuskan dalam kongres merupakan sebuah sesuatu
yang keliru dan oleh sebab itu harus di tinjau kembali keputusannya. Namun,
pimpinan SI pada sat itu tetap bersikeras pada apa yang telah diputuskan dalam
kongres. Dengan keputusan tersebut maka anggota-anggota SI yang tidak mau
keluar dari PKI dikeluarkan dari tubuh SI. Sekalipun keputusan ini akan
mengurangi jumlah anggota, namun pimpinan SI tetap menganggap bahwa keputusan
ini merupakan hal terbaik yang harus dilakukan.
Semaun dan para anggota SI yang juga merupakan PKI tidak
tinggal diam dengan keputusan ini. Mereka tetap tidak mau menerima hasil
kongres dan tidak keluar dari SI. Mereka kemudian membentuk SI tandingan yang
di sebut sebagai SI Merah, sedangkan SI yang menerima hasil kongres tersebut
dinamakan sebagai SI Putih. SI tandingan ini tidak hanya terjadi ditingkat
pusat, melainkan juga samapi ke cabang di daerah-daerah. Pada kongres PKI II di
Bandung Maret 1923 dirumuskan secara jelas bahwa mereka menentang secara
terang-terangan SI sebagai kekuatan politik, dan mengubah SI merah menjadi
Sarekat Rakyat (SR) sebagai organisasi yang berada dibawah PKI. Pemerintah
Hindia Belanda melihat bahwa kekuatan komunis sudah mulai berkembang dan
semakin menyebabkan ancaman karena aksi yang dilakukan anggotanya. Kemudian
pemerintah Hindia Belanda mengusir tokoh-tokoh komunis seperti Muso, Alimin,
Darsono dan Semaun. Tokoh-tokoh ini menyebar ke Asia hingga Eropa. Namun tidak
lama kemudian pada akhir tahun 1923 tokoh-tokoh komunis tersebut kembali ke
Hindia Belanda.
Ternyata kepergian mereka meninggalkan Hindia Belanda telah
mengakibatkannya kelemahan dalam kepemimpinan Perserikatan Komunis di Hindia
Belanda. Untuk kembali membangkitkan kekuatan komunis tersebut, Semaun dan
Darsono mencoba untuk menghimpun kembali kekuatan dengan melakukan kongres pada
Juni 1924 di Jakarta. Pada saat itulah nama Partai Komunis Indonesia (PKI)
resmi di gunakan. Kongres tersebut juga memutuskan untuk memindahkan markas
besar PKI dari Semarang ke Batavia (sekarang Jakarta) dan memilih pimpinan baru
yaitu Alimin, Musso, Aliarcham, Sardjono dan Winanta. Dalam kongres tersebut
juga diputuskan untuk membentuk cabang cabang di Padang, Semarang, dan
Surabaya.
Komunisme ternyata telah berhasil memecah bela SI kedalam
dua bagian. Bagian pertama adalah mereka yang mempunyai pandangan komunis dalam
tubuh SI dan bagian yang kedua adalah mereka yang menentang ajaran komunisme
dalam tubuh SI. Sekalipun akibat ulah dari komunisme SI mengalami penurunan
dalam jumlah anggotanya, tapi bagi pimpinan SI hal ini harus dilakukan untuk
menyelamatkan SI itu sendiri. Atas peristiwa tersebut SI dan PKI pun menjadi
dua kekuaan politik yang berdiri sendiri dan saling melakukan persaingan dalam
mendapatkan simpati/dukungan dari rakyat.